Dasamya
adalah hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu
'anhu, dari Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam , beliau
bersabda:
"Jika
kalian buang air besar, janganlah menghadap kiblat dan jangan pula
membelakanginya. Tapi menghadaplah ke timur atau ke barat."
Abu
Ayyub berkata, "Kami pergi ke Syam. Kami dapati di sana tempat-tempat
buang air menghadap ke kiblat. Kami pun membelokkan sedikit darinya, dan
meminta ampun kepada Allah Subhana Wata'ala [1]."
Namun
telah shahih dari lbnu Umar, ia berkata, "Suatu hari aku menaiki atap
rumah kami. Aku melihat Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam bertumpu
di atas dua batu bata dengan menghadap Baitul Maqdis untuk buang hajat.[2]"
Jika
beliau menghadap Baitul Maqdis di Madinah-padahal beliau di Madinah-berarti
beliau membelakangi Ka'bah
Penulis
berkata: Dalam memahami hadits ini ada empat pendapat yang masyhur di
kalangan ulama[3]:
Pertama,
larangan menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak, baik di
dalam ruangan maupun di tempat terbuka. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Ahmad
dan Ibnu Hazm, serta pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu
Hazm menukilnya dari Abu Hurairah, Abu Ayyub, Ibnu Mas'ud dan Saraqah bin
Malik, serta dari 'Atha', an-Nakha'i, ats-Tsauri dan Abu Tsaur[4]. Mereka
berdalil dengan hadits Abu Ayyub yang telah disebutkan di atas.
Mereka
menjawab hadits dari Ibnu Umar dengan beberapa hal:
a.
Larangan harus didahulukan daripada dalil yang membolehkan.
b.
Tidak ada yang menunjukkan hal itu {pembolehan) terjadi setelah larangan
menghadap dan membelakangi kiblat.
c.
Perbuatan Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam tidaklah
bertentangan dengan perkataan yang khusus ditujukan untuk umat. Kecuali bila
ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan beliau itu untuk dicontoh. Jika tidak,
maka perbuatan itu khusus untuk beliau.
Penulis
berkata: Poin terakhir ini mungkin dikuatkan dengan kemungkinan bahwa Ibnu
Umar radhiallahu
'anhu ; melihat perbuatan Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam tersebut tanpa sengaja. Sepertinya Nabi tidak menghendaki
penjelasan tentang sebuah hukum syar'i yang baru dari perbuatan beliau
tersebut.
Kedua,
larangan ini khusus bagi yang buang hajat di tanah lapang bukan di
dalam bangunan. Ini pendapat Malik, asy-Syafi'i, salah satu dari dua riwayat
yang paling shahih dari Ahmad, dan Ishaq. Mereka menempuh jalur kompromi di
antara dua dalil. Menurut mereka, kaidah "mendahulukan ucapan dari perbuatan" baru bisa dipakai
dalam keadaan adanya khushusiyyah (dalil yang mengkhususkan), sementara
tidak
ada dalil yang menetapkan adanya khushusiyyah
dalam masalah ini.
Ketiga,
boleh membelakangi kiblat dan tidak boleh menghadap kiblat. Ini
pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ahmad, karena mengamalkan
zhahir hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Ayyub.
Keempat,
boleh menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak. lni adalah
pendapat Aisyah, Urwah, Rabi' ah dan Dawud. Argumen mereka bahwa hadits-hadits
(dalam masalah ini) saling kontradiktif, maka masalah ini dikembalikan kepada
hukum asal, yaitu boleh.
Penulis
berkata: Barangkali pendapat yang pertama-yaitu haram secara mutlak-itulah
yang kuat dalilnya dan yang paling selamat untuk diamalkan. Wallahu a'lam.
[3]
Disebutkan
oleh an-Nawawi dalam al-Majmu' (II/82) dan al-Hafizh menambahkan
dalam
ai-Fath (1/296) tiga pendapat yang lain.
[4] Al-Muhafla (I/194),
al-Fath (1/296), al-Ausath (I/334), as-Sail al-Jarrar (I/69)
dan allkhtiyarat al-Fiqhiyah (8)