Tidak Menghadap Atau Membelakangi Kiblat Saat Duduk Untuk Buang Hajat.

Rabu, 11 Juni 2014

Dasamya adalah hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu 'anhu,  dari Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam , beliau bersabda:

 
"Jika kalian buang air besar, janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya. Tapi menghadaplah ke timur atau ke barat."

Abu Ayyub berkata, "Kami pergi ke Syam. Kami dapati di sana tempat-tempat buang air menghadap ke kiblat. Kami pun membelokkan sedikit darinya, dan meminta ampun kepada Allah Subhana Wata'ala [1]."


Namun telah shahih dari lbnu Umar, ia berkata, "Suatu hari aku menaiki atap rumah kami. Aku melihat Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  bertumpu di atas dua batu bata dengan menghadap Baitul Maqdis untuk buang hajat.[2]"

Jika beliau menghadap Baitul Maqdis di Madinah-padahal beliau di Madinah-berarti beliau membelakangi Ka'bah

Penulis berkata: Dalam memahami hadits ini ada empat pendapat yang masyhur di kalangan ulama[3]:

Pertama, larangan menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak, baik di dalam ruangan maupun di tempat terbuka. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan Ibnu Hazm, serta pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Hazm menukilnya dari Abu Hurairah, Abu Ayyub, Ibnu Mas'ud dan Saraqah bin Malik, serta dari 'Atha', an-Nakha'i, ats-Tsauri dan Abu Tsaur[4]. Mereka berdalil dengan hadits Abu Ayyub yang telah disebutkan di atas.

Mereka menjawab hadits dari Ibnu Umar dengan beberapa hal:


a. Larangan harus didahulukan daripada dalil yang membolehkan.
b. Tidak ada yang menunjukkan hal itu {pembolehan) terjadi setelah larangan menghadap dan membelakangi kiblat.
c. Perbuatan Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  tidaklah bertentangan dengan perkataan yang khusus ditujukan untuk umat. Kecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan beliau itu untuk dicontoh. Jika tidak, maka perbuatan itu khusus untuk beliau.

Penulis berkata: Poin terakhir ini mungkin dikuatkan dengan kemungkinan bahwa Ibnu Umar radhiallahu 'anhu ; melihat perbuatan Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam tersebut tanpa sengaja. Sepertinya Nabi tidak menghendaki penjelasan tentang sebuah hukum syar'i yang baru dari perbuatan beliau tersebut.

Kedua, larangan ini khusus bagi yang buang hajat di tanah lapang bukan di dalam bangunan. Ini pendapat Malik, asy-Syafi'i, salah satu dari dua riwayat yang paling shahih dari Ahmad, dan Ishaq. Mereka menempuh jalur kompromi di antara dua dalil. Menurut mereka, kaidah "mendahulukan ucapan dari perbuatan" baru bisa dipakai dalam keadaan adanya khushusiyyah (dalil yang mengkhususkan), sementara tidak
ada dalil yang menetapkan adanya khushusiyyah dalam masalah ini.

Ketiga, boleh membelakangi kiblat dan tidak boleh menghadap kiblat. Ini pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ahmad, karena mengamalkan zhahir hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Ayyub.

Keempat, boleh menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak. lni adalah pendapat Aisyah, Urwah, Rabi' ah dan Dawud. Argumen mereka bahwa hadits-hadits (dalam masalah ini) saling kontradiktif, maka masalah ini dikembalikan kepada hukum asal, yaitu boleh.

Penulis berkata: Barangkali pendapat yang pertama-yaitu haram secara mutlak-itulah yang kuat dalilnya dan yang paling selamat untuk diamalkan. Wallahu a'lam.



[1] Shahih, riwayat al-Bukhari (394), Muslim (264) dan selainnya.
[2] Shahih, riwayat al-Bukhari (145), Muslim (266) dan selain keduanya.
[3] Disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu' (II/82) dan al-Hafizh menambahkan
dalam ai-Fath (1/296) tiga pendapat yang lain.
[4] Al-Muhafla (I/194), al-Fath (1/296), al-Ausath (I/334), as-Sail al-Jarrar (I/69) dan allkhtiyarat al-Fiqhiyah (8)