Apakah Harus Menggunakan Air untuk Menghilangkan Najis? Atau Bolehkah Menghilangkan Najis dengan Cairan Selain Air?

Selasa, 10 Juni 2014

Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini dalam dua pendapat yang masyhur:

Pertama, disyaratkan air untuk menghilangkan najis. Tidak sah menghilangkannya dengan selainnya, kecuali berdasarkan dalil.
Pendapat inilah yang masyhur di kalangan madzhab Malik dan Ahmad, serta pendapat asy-Syafi'i dalam madzhab jadid (baru)nya.

Pendapat ini didukung oleh asy-Syaukani dan orang-orang yang mengikutinya[1].

Hujjah mereka adalah:

1. Allah Subhana Wata'ala  berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu." (Al-Anfal: 11)

Dan dalil-dalillainnya yang menunjukkan kesucian air.

2. Perintah Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  untuk menyiramkan air pada air seni orang
Arab Badui[2]. Menurut mereka,


perintah ini menunjukkan kewajiban, maka tidak sah menghilangkan najis dengan selain air.

3.Perintah Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Tsa'labah, untuk mencuci bejana-bejana Ahli Kitab dengan air[3].

4. Asy-Syaukani berkata, "Air adalah asal untuk mensucikan najis. Karena Syari' (Yang menetapkan syariat, Allah dan Rasul-Nya) mensifatinya sebagai benda yang mensucikan. Tidak dapat dipindahkan kepada selainnya, kecuali ada ketetapan yang sah dari Syari'. Jika tidak ada, maka tidak boleh menggantinya. Karena hal itu termasuk berpaling dari sesuatu yang sudah dimaklumi kesuciannya kepada sesuatu yang belum dimaklumi kesuciannya. Hal itu berarti keluar dari jalur syari'at."

Kedua, sah mensucikan dengan segala benda yang dapat menghilangkan najis dan tidak disyaratkan air.

Ini madzhab Imam Abu Hanifah, riwayat yang lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, Imam asy-Syafi'i dalam qaul qadim (pendapat lama)nya, Ibnu Hazm, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, demikian pula oleh al-'Allamah Ibnu Utsaimin[4].

Pendapat inilah yang rajih, berdasarkan keterangan berikut ini:


1.   Keberadaan air sebagai benda yang mensucikan (suci lagi mensucikan) tidaklah menafikan benda lain juga mensucikan sepertinya. Sebab kaidah mengatakan, "Tidak adanya sebab tertentu tidak berarti akibat tertentu tidak ada, baik itu berupa dalil atau bukan dalil." Karena yang berpengaruh di sini mungkin perkara lain. Dan itulah yang terjadi pada bab najis ini[5].

Penulis berkata: Bahkan sebagian cairan, seperti cuka dan cairan pembersih buatan lainnya, dapat menghilangkan najis seperti air bahkan lebih bersih daripadanya.

2.   Syariat hanya memerintahkan untuk membersihkan najis dengan air pada kasus tertentu saja, dan tidaklah memerintahkan secara umum untuk menghilangkan semua najis dengan air.

3.   Syari'at telah mengizinkan untuk membersihkan sebagian najis dengan selain air, seperti: beristinja' dengan batu, menggosok sandal dengan tanah, membersihkan ekor pakaian dengan tanah, dan lain-lain seperti telah dijelaskan.


 

4.   Menghilangkan najis bukanlah termasuk bab ma'mur (sesuatu yang diperintahkan) tetapi termasuk bab ijtinab a/-mahzhur (menjauhi sesuatu yang dilarang). Pada saat seorang hamba terkena suatu najis, dengan sebab apapun, maka ketika itu berlakulah hukumnya. Karenanya, untuk menghilangkan najis tidak disyaratkan niat. Namun jika najis itu hilang dengan perbuatan seorang hamba berikut niatnya, maka ia mendapatkan pahala. Jika najis hilang dengan sendirinya, tanpa perbuatan atau niat menghilangkannya, maka hilanglah mafsadah itu. Tetapi, dalam hal ini, dia tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan hukuman.

Yang mendukung hal tersebut bahwa Khamer yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka ia menjadi suci-bagi yang mengatakan Khamer itu najis-berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.

Penulis berkata: Maka pendapat yang rajih adalah jika najis hilang dengan sesuatu, maka hukumnya juga hilang dan benda kembali menjadi suci.

Di sini ada beberapa faidah:

1.   Faidah masalah ini bahwa siapa saja yang pada pakaiannya atau badannya terdapat najis, lalu ia menggunakan sesuatu yang dapat membuatnya menjadi bersih dan suci-selain air-maka itu sudah mencukupi dan tidak harus mencucinya dengan air.

2.   Tidak boleh menggunakan makanan atau minuman untuk menghilangkan najis tanpa adanya kebutuhan. Karena dapat merusak harta


3.   Kesucian yang dihasilkan dengan selain air berupa benda-benda cairan atau selainnya hanya berlaku untuk najis-najis haqiqiyah yang mengenai pakaian, tubuh dan tempat. Adapun bersuci secara hukmi (bersuci dari hadats), seperti wudhu, mandi dan selainnya, maka tidak boleh dilakukan dengan selain air.



[1] Bidayah al-Mujtalzid (I/99), al-Umm (II 49), dan as-Sail al-Jarrar (1149
[2] Muttafaq 'alaihi. Telah disebutkan sebelumnya.
[3] Muttafaq 'alaihi: AI-Bukhari (5170) dan Muslim (1930)
[4] Al-Bada 'i' (I/83 ), Fath al-Qadir (I/200), Majmu' al-Fatawa (21/475), al-Muhalla
(I/92-94 ), dan asy-Syarh al-Mumti' (1/ 361-363)
[5] Asy-Syarh al-Mumti' (I/ 362)