Para
ulama berselisih pendapat mengenai hal ini dalam dua pendapat yang masyhur:
Pertama,
disyaratkan air untuk menghilangkan najis. Tidak sah menghilangkannya
dengan selainnya, kecuali berdasarkan dalil.
Pendapat
inilah yang masyhur di kalangan madzhab Malik dan Ahmad, serta pendapat
asy-Syafi'i dalam madzhab jadid (baru)nya.
Pendapat
ini didukung oleh asy-Syaukani dan orang-orang yang mengikutinya[1].
Hujjah
mereka adalah:
1. Allah
Subhana
Wata'ala berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
"Dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan
itu." (Al-Anfal: 11)
Dan
dalil-dalillainnya yang menunjukkan kesucian air.
2.
Perintah Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam untuk menyiramkan air pada air seni
orang
Arab
Badui[2]. Menurut
mereka,
perintah ini menunjukkan kewajiban, maka
tidak sah menghilangkan najis dengan selain air.
3.Perintah
Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Tsa'labah, untuk mencuci bejana-bejana Ahli Kitab
dengan air[3].
4.
Asy-Syaukani berkata,
"Air adalah asal untuk mensucikan najis. Karena Syari' (Yang menetapkan
syariat, Allah dan Rasul-Nya) mensifatinya sebagai benda yang mensucikan. Tidak
dapat dipindahkan kepada selainnya, kecuali ada ketetapan yang sah dari Syari'.
Jika tidak ada, maka tidak boleh menggantinya. Karena hal itu termasuk
berpaling dari sesuatu yang sudah dimaklumi kesuciannya kepada sesuatu yang belum
dimaklumi kesuciannya. Hal itu berarti keluar dari jalur syari'at."
Kedua,
sah mensucikan dengan segala benda yang dapat menghilangkan najis
dan tidak disyaratkan air.
Ini
madzhab Imam Abu Hanifah, riwayat yang lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad,
Imam asy-Syafi'i dalam qaul qadim (pendapat lama)nya, Ibnu Hazm, dan pendapat
yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, demikian pula oleh al-'Allamah
Ibnu Utsaimin[4].
Pendapat
inilah yang rajih,
berdasarkan keterangan berikut ini:
1.
Keberadaan air
sebagai benda yang mensucikan (suci lagi mensucikan) tidaklah menafikan benda
lain juga mensucikan sepertinya. Sebab kaidah mengatakan, "Tidak adanya sebab
tertentu tidak berarti akibat tertentu tidak ada, baik itu berupa dalil atau
bukan dalil." Karena yang berpengaruh di sini mungkin perkara lain.
Dan itulah yang terjadi pada bab najis ini[5].
Penulis
berkata: Bahkan sebagian cairan, seperti cuka dan cairan pembersih buatan
lainnya, dapat menghilangkan najis seperti air bahkan lebih bersih daripadanya.
2.
Syariat hanya
memerintahkan untuk membersihkan najis dengan air pada kasus tertentu saja, dan
tidaklah memerintahkan secara umum untuk menghilangkan semua najis dengan air.
3.
Syari'at telah
mengizinkan untuk membersihkan sebagian najis dengan selain air, seperti:
beristinja' dengan batu, menggosok sandal dengan tanah, membersihkan ekor
pakaian dengan tanah, dan lain-lain seperti telah dijelaskan.
4.
Menghilangkan
najis bukanlah termasuk bab ma'mur (sesuatu yang diperintahkan) tetapi
termasuk bab ijtinab a/-mahzhur (menjauhi sesuatu yang dilarang). Pada
saat seorang hamba terkena suatu najis, dengan sebab apapun, maka ketika itu
berlakulah hukumnya. Karenanya, untuk menghilangkan najis tidak disyaratkan
niat. Namun jika najis itu hilang dengan perbuatan seorang hamba berikut
niatnya, maka ia mendapatkan pahala. Jika najis hilang dengan sendirinya, tanpa
perbuatan atau niat menghilangkannya, maka hilanglah mafsadah itu. Tetapi, dalam
hal ini, dia tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan hukuman.
Yang
mendukung hal tersebut bahwa Khamer yang berubah menjadi cuka dengan
sendirinya, maka ia menjadi suci-bagi yang mengatakan Khamer itu
najis-berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.
Penulis
berkata: Maka pendapat yang rajih adalah jika najis hilang dengan sesuatu,
maka hukumnya juga hilang dan benda kembali menjadi suci.
Di
sini ada beberapa faidah:
1. Faidah masalah ini bahwa siapa saja yang pada pakaiannya atau badannya
terdapat najis, lalu ia menggunakan sesuatu yang dapat membuatnya menjadi
bersih dan suci-selain air-maka itu sudah mencukupi dan tidak harus mencucinya
dengan air.
2. Tidak boleh menggunakan makanan atau minuman untuk menghilangkan najis
tanpa adanya kebutuhan. Karena dapat merusak harta
3. Kesucian yang dihasilkan dengan selain air berupa benda-benda cairan
atau selainnya hanya berlaku untuk najis-najis haqiqiyah yang mengenai pakaian,
tubuh dan tempat. Adapun bersuci secara hukmi (bersuci dari hadats),
seperti wudhu, mandi dan selainnya, maka tidak boleh dilakukan dengan selain
air.
(I/92-94
), dan asy-Syarh al-Mumti' (1/ 361-363)