Apa Hukum Cairan yang Keluar dari Kemaluan Wanita, atau yang Disebut Cairan Kemaluan Wanita

Selasa, 10 Juni 2014

 Dalam masalah ini ada dua madzhab ulama[1]:


Pendapat pertama, yaitu najis. Karena ia keluar dari kemaluan dan tidak tercipta anak darinya. Ia dihukumi seperti madzi. Mereka berdalil dengan hadits Zaid bin Khalid, ia bertanya kepada Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu ,

"Bagaimana pendapatmu, jika seorang suami menyetubuhi istrinya dan ia tidak mengeluarkan mani?" Utsman menjawab, "Hendaklah ia berwudhu seperti wudhu untuk shalat, dan hendaklah ia mencuci kemaluannya." Utsman berkata, "Aku mendengamya dari Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam ."[2]


Mereka juga berdalil dengan hadits Ubay bin Ka' ab radhiallahu 'anhu , ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika seorang suami berjima' dengan istrinya tapi tidak mengeluarkan mani?'' Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  menjawab: "Hendaklah ia mencuci bagian tubuhnya yang bersentuhan dengan wanita (yakni kemaluannya), lalu ia berwudhu dan mengerjakan shalat"[3].

Mereka mengatakan, Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  memerintahkan mencuci bagian tubuh yang terkena cairan dari kemaluan wanita, adalah dalil tentang najisnya cairan yang keluar dari kemaluan wanita. Namun pendapat ini dibantah bahwa kedua hadits tersebut mansukh (sudah dihapuskan)[4] dengan hadits-hadits perintah untuk mandi, sebagaimana akan dijelaskan nanti pada pembahasannya, insya Allah.

Mungkin juga perintah untuk mencuci kemaluan itu karena keluarnya madzi, yang keluar dari suami atau istrinya.

Mereka juga berdalil akan najisnya cairan tersebut, karena ia keluar dari salah satu dari dua jalan. Sementara kaidah menyatakan,


"Semua yang keluar dari dua jalan adalah najis, kecuali mani."

Pendapat kedua, cairan yang keluar dari kemaluan wanita adalah suci[5]. Mereka berargumen dengan beberapa dalil berikut:

1.   Aisyah radhiallahu 'anha pernah mengerik mani dari pakaian Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  yaitu dari bekas jima'. Karena tidak ada seorang Nabi pun yang pernah bermimpi basah.[6] Hal itu tentu saja menyebabkan terkena cairan kemaluan wanita. Jika kita hukumi bahwa kemaluan wanita najis, tentu kita harus menghukumi kenajisan mani wanita. Karena, mani itu keluar dari kemaluannya juga, sehingga ia menjadi najis karena terkena cairan terse but.

2.   Perkara cairan ini tidaklah sesuatu yang samar. Hal ini banyak ditemukan pada kaum wanita. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini juga terjadi pada kaum wanita di masa Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  sebagaimana terjadi pada wanita zaman sekarang. Tapi tidak pernah disinyalir, Nabi memerintahkan mereka untuk mencucinya atau berwudhu darinya.

3.   Tempat keluar cairan ini tidaklah sama dengan tempat keluarnya air seni yang najis.


4. Perkataan fuqaha (ahli fiqih), "Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan adalah najis kecuali mani", ini bukanlah perkataan dari seorang yang ma'shum, yaitu Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam . Tidak ada ijma' umat mengenai hal itu. Bahkan disebutkan bahwa sebagian yang keluar dari dua jalan tersebut tidaklah membatalkan wudhu, seperti darah istihadhah, dan akan dijelaskan pada pembahasannya, insya Allah.

Penulis berkata: Yang paling rajih adalah uraian berikut ini: Jika cairan itu keluar dari wanita pada saat bercumbu dengan suami, menginginkan jima' atau sejenisnya, maka itulah yang disebut madzi. Seperti yang telah kita ketahui bahwa madzi adalah najis, wajib untuk mencucinya dan membatalkan wudhu.

Adapun jika cairan itu adalah cairan yang keluar dari kemaluan wanita pada hampir setiap waktu, dan semakin banyak pada saat hamil, ketika banyak berjalan, atau bekerja keras, maka hukum asalnya suci. karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Wallahu a'/am.




[1] Al-Mughni (Il/88), dan al-Majmu' (I/570)
[2] Sanadnya shahih, riwayat al-Bukhari (292) dan Muslim (347), tapi haditsnya mansukh.
[3] Sanadnya shahih, riwayat al-Bukhari (293), dan Muslim (346), tapi haditsnya mansukh
[4] Fath al-Bari (I/473)
[5] Jami Alzkam an-Nisa' (I/68), tulisan guru kami Musthafa bin ai-'Adawi hajizhahullah.
[6] Demikian disebutkan dalam al-Muglmi (II/88). Guru kami berkata, "Hal ini membutuhkan nash dari al-Quran dan as-Sunnah, tapi kami belum menemukan nash-nya."