Pendapat pertama, yaitu
najis. Karena ia keluar dari kemaluan dan tidak tercipta anak darinya. Ia
dihukumi seperti madzi. Mereka berdalil dengan hadits Zaid bin Khalid, ia
bertanya kepada Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu ,
"Bagaimana
pendapatmu, jika seorang suami menyetubuhi istrinya dan ia tidak mengeluarkan
mani?" Utsman menjawab, "Hendaklah ia berwudhu seperti wudhu untuk
shalat, dan hendaklah ia mencuci kemaluannya." Utsman berkata, "Aku
mendengamya dari Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam ."[2]
Mereka
juga berdalil dengan hadits Ubay bin Ka' ab radhiallahu
'anhu , ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika seorang suami
berjima' dengan istrinya tapi tidak mengeluarkan mani?'' Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Hendaklah ia
mencuci bagian tubuhnya yang bersentuhan dengan wanita (yakni kemaluannya),
lalu ia berwudhu dan mengerjakan shalat"[3].
Mereka
mengatakan, Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan
mencuci bagian tubuh yang terkena cairan dari kemaluan wanita, adalah dalil
tentang najisnya cairan yang keluar dari kemaluan wanita. Namun pendapat ini
dibantah bahwa kedua hadits tersebut mansukh (sudah dihapuskan)[4]
dengan hadits-hadits perintah untuk mandi, sebagaimana akan dijelaskan
nanti pada pembahasannya, insya Allah.
Mungkin
juga perintah untuk mencuci kemaluan itu karena keluarnya madzi, yang keluar
dari suami atau istrinya.
Mereka
juga berdalil akan najisnya cairan tersebut, karena ia keluar dari salah satu
dari dua jalan. Sementara kaidah menyatakan,
"Semua yang keluar dari dua jalan
adalah najis, kecuali mani."
Pendapat kedua, cairan
yang keluar dari kemaluan wanita adalah suci[5].
Mereka berargumen dengan beberapa dalil berikut:
1.
Aisyah radhiallahu 'anha pernah
mengerik mani dari pakaian Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam yaitu
dari bekas jima'. Karena tidak ada seorang Nabi pun yang pernah bermimpi basah.[6]
Hal itu tentu saja menyebabkan terkena cairan kemaluan wanita. Jika kita hukumi
bahwa kemaluan wanita najis, tentu kita harus menghukumi kenajisan mani wanita.
Karena, mani itu keluar dari kemaluannya juga, sehingga ia menjadi najis karena
terkena cairan terse but.
2.
Perkara cairan
ini tidaklah sesuatu yang samar. Hal ini banyak ditemukan pada kaum wanita.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini juga terjadi pada kaum wanita di masa Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana terjadi pada wanita
zaman sekarang. Tapi tidak pernah disinyalir, Nabi memerintahkan mereka untuk
mencucinya atau berwudhu darinya.
3.
Tempat keluar
cairan ini tidaklah sama dengan tempat keluarnya air seni yang najis.
4. Perkataan fuqaha (ahli fiqih),
"Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan adalah najis kecuali
mani", ini bukanlah perkataan dari seorang yang ma'shum, yaitu Nabi
Sallallahu 'alaihi wasallam .
Tidak ada ijma' umat mengenai hal itu. Bahkan disebutkan bahwa
sebagian yang keluar dari dua jalan tersebut tidaklah membatalkan wudhu,
seperti darah istihadhah, dan akan dijelaskan pada pembahasannya, insya Allah.
Penulis
berkata: Yang paling rajih adalah uraian berikut ini: Jika cairan itu keluar
dari wanita pada saat bercumbu dengan suami, menginginkan jima' atau
sejenisnya, maka itulah yang disebut madzi. Seperti yang telah kita ketahui
bahwa madzi adalah najis,
wajib untuk mencucinya dan membatalkan wudhu.
Adapun
jika cairan itu adalah cairan yang keluar dari kemaluan wanita pada hampir
setiap waktu, dan semakin banyak pada saat hamil, ketika banyak berjalan, atau
bekerja keras, maka hukum asalnya suci. karena tidak ada dalil yang menunjukkan
kenajisannya. Wallahu a'/am.
[6] Demikian
disebutkan dalam al-Muglmi (II/88). Guru kami berkata, "Hal ini
membutuhkan nash dari al-Quran dan as-Sunnah, tapi kami belum menemukan
nash-nya."