Apakah Muntah Bani Adam Najis?

Selasa, 10 Juni 2014

Telah disebutkan berkali-kali bahwa hukum asal segala sesuatu itu adalah suci. Tidak boleh dipindahkan dari hukum asalnya, kecuali dengan adanya penukilan dalil shahih yang dapat dijadikan hujjah. Tanpa ada pertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat atau yang sama dengannya.

Jika kita menemukannya, maka hal itu bagus. Namun, jika kita tidak menemukannya, kita wajib melarang orang-orang yang mengatakan najis. Karena klaim tersebut berarti bahwa Allah Subhana Wata'ala  telah mewajibkan atas hamba-hambaNya untuk mencuci benda-benda tersebut, yang diduganya najis dan keberadaannya dapat menghalangi pelaksanaan shalat. Padahal tidak ada dalil mengenai hal itu.

Muntah dan sejenisnya termasuk dalam jenis ini. Tidak ditemukan dalil shahih yang memindahkannya dari hukum asalnya, yaitu suci. Memang ada hadits yang mensinyalir kenajisannya, yaitu hadits Ammar,

"Kamu hanya mencuci pakaianmu dari air seni, tinja, muntah, darah dan mani." Namun hadits ini dhaif, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Wallahu a'lam.


Ada riwayat shahih dari Abu Darda, "Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  muntah, maka beliau berbuka dan berwudhu[1].

Namun, dalam hadits ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa muntah itu najis. Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu karena muntah. Tidak juga menunjukkan batalnya wudhu karena muntah.

Maksimal yang dapat kita ambil adalah disyariatkannya berwudhu karena muntah.


Karena sebatas perbuatan Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  tidaklah menunjukkan suatu kewajiban.


Di samping itu, tidak semua yang membatalkan wudhu itu adalah najis.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa.




[1] Shahih, riwayat Abu Dawud (2381), at-Tirmidzi (87), Ahmad (6/443) dan selainnya