Telah
disebutkan berkali-kali bahwa hukum asal segala sesuatu itu adalah suci. Tidak
boleh dipindahkan dari hukum asalnya, kecuali dengan adanya penukilan dalil
shahih yang dapat dijadikan hujjah. Tanpa ada pertentangan dengan dalil-dalil
yang lebih kuat atau yang sama dengannya.
Jika
kita menemukannya, maka hal itu bagus. Namun, jika kita tidak menemukannya,
kita wajib melarang orang-orang yang mengatakan najis. Karena klaim tersebut
berarti bahwa Allah Subhana
Wata'ala telah
mewajibkan atas hamba-hambaNya untuk mencuci benda-benda tersebut, yang diduganya
najis dan keberadaannya dapat menghalangi pelaksanaan shalat. Padahal tidak ada
dalil mengenai hal itu.
Muntah
dan sejenisnya termasuk dalam jenis ini. Tidak ditemukan dalil shahih yang
memindahkannya dari hukum asalnya, yaitu suci. Memang ada hadits yang
mensinyalir kenajisannya, yaitu hadits Ammar,
"Kamu
hanya mencuci pakaianmu dari air seni, tinja,
muntah, darah dan mani." Namun hadits ini dhaif, tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah.
Wallahu
a'lam.
Ada
riwayat shahih dari Abu Darda, "Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam muntah,
maka beliau berbuka dan berwudhu[1].
Namun,
dalam hadits ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa muntah itu najis. Tidak
ada dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu karena muntah. Tidak juga menunjukkan
batalnya wudhu karena muntah.
Maksimal
yang dapat kita ambil adalah disyariatkannya berwudhu karena muntah.
Karena sebatas perbuatan Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam tidaklah menunjukkan suatu kewajiban.
Di samping itu, tidak semua yang
membatalkan wudhu itu adalah najis.
Inilah
pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu'
al-Fatawa.