1.
Darah
haid
Darah
ini najis, menurut kesepakatan ulama.
Dasarnya
adalah hadits Asma' binti Abu Bakar,
عَنْ
أَسْمَاءَ، قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ: أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ قَالَ:
«تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، وَتَنْضَحُهُ، وَتُصَلِّي فِيهِ»
ia
berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan
berkata, 'Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami bajunya terkena darah haid.
Apa yang harus dilakukannya?' Beliau menjawab: 'Hendaklah ia mengeriknya,
kemudian menggosoknya[1] dengan air, lalu
menyiramnya. Setelah itu, silahkan ia gunakan untuk shalat'.[2] "
2.
Darah manusia[3]
Terdapat
perselisihan pendapat mengenainya. Pendapat yang masyhur di kalangan
ulama-ulama madzhab fiqih bahwa darah adalah najis. Namun, mereka tidak
memiliki hujjah. Hanya saja darah itu diharamkan berdasarkan nash al-Quran,
dalam firman-Nya:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ (145)
Katakanlah,
'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi; karena sesungguhnya
semua itu kotor'." (Al-An'am: 145)
Menurut
mereka, pengharaman itu mengindikasikan kenajisan, sebagaimana yang mereka
lakukan berkenaan dengan Khamer. Dan ini sudah jelas. Tetapi telah dinukil dari
sejumlah ulama tentang ijma' penajisannya. Akan disebutkan pembahasannya
tentang hal ini.
Di lain pihak, sejumlah ulama muta'akhirin,
di antaranya asySyaukani, Shiddiq Khan, al-Albani, dan Ibnu Utsaimin
berpendapat mengenai kesuciannya. Karena, menurut mereka, tidak ada
ketetapan ijma'. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut ini:
a.
Hukum asal
segala sesuatu itu suci, hingga ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.
Kami tidak pernah mengetahui bahwa Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan
untuk mencuci darah selain darah haid. Padahal banyak orang sering mengalami
luka atau sejenisnya. Jika darah itu najis, niscaya Nabi telah menjelaskannya
karena masalah ini sangat dibutuhkan.
b.
Kaum Muslimin,
dari dahulu hingga sekarang, tetap diperintahkan mengerjakan shalat dengan
luka-luka yang ada pada tubuh mereka. Bahkan ada yang mengalirkan darah sangat
banyak yang tidak bisa ditolerir. Namun, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan untuk
mencucinya. Tidak pernah pula diriwayatkan, mereka mempersoalkan tentang
darah-darah yang mengucur ini. Al-Hasan berkata, "Dari dahulu sampai sekarang
kaum Muslimin tetap mengerjakan shalat dengan luka-luka pada tubuh mereka.[4]"
Dalam
hadits sahabat Anshar, "Ketika ia shalat pada malam hari, ia dipanah oleh
seorang Musyrik. Lalu ia mencabut panahnya dan meletakkannya. Hingga ia dipanah
sampai tiga kali. Kemudian ia ruku, sujud, dan terus melanjutkan shalatnya,
sementara darah terus mengalir." [5]
Syaikh
al-Albani ; berkata[6], "Hadits ini memiliki
hukum marfu', karena mustahil Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam tidak
mengetahuinya. Jika darah yang banyak keluar itu membatalkan wudhunya, tentulah
Nabi telah menjelaskannya. Karena menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan
adalah tidak boleh, seperti yang dikenal dalam kaidah ilmu ushul. Anggaplah
Nabi tidak mengetahuinya, tapi hal ini tidak tersembunyi bagi Allah Subhana Wata'ala yang tidak ada perkara yang
tersembunyi bagi-Nya di langit dan di bumi. Jika itu membatalkan wudhu, atau
najis, tentulah Allah telah mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi-Nya,
sebagaimana kenyataannya yang sudah jelas bagi siapa pun."
Dalam
hadits tentang terbunuhnya Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu disebutkan,
"Umar terus mengerjakan shalat, sementara darahnya membasahi sekujur
tubuhnya.[7]"88
Yakni darahnya terus mengalir.
c.
Hadits Aisyah radhiallahu
'anha tentang kisah kematian Sa'd bin Muadz, ia berkata, "Sa'd
bin Muadz terluka pada peperangan Khandak karena dipanah oleh seorang
laki-laki pada pelipisnya. Lalu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam membuatkan kemah di masjid agar
mudah untuk menjenguknya. Ketika malam tiba, melebarlah lukanya, lalu
mengalirlah darah dari lukanya hingga membasahi kemah yang ada di sampingnya. Mereka
berkata, 'Hai penghuni kemah, apa yang kalian kirimkan kepada kami?' Ketika
mereka melihatnya, ternyata luka Sa'd telah pecah dan darahnya memancar dengan
deras. Kemudian dia pun meninggal.[8] "89
Penulis
berkata: Tidak diriwayatkan bahwa Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan
untuk menyiramkan air padanya. Apalagi hal ini terjadi di masjid, sebagaimana
beliau memerintahkan untuk mengguyurkan air pada air seni orang Arab Badui.
d.
Ketika Ibnu
Rusyd menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang darah ikan, dia
menyebutkan sebab perselisihan mereka, yaitu tentang masalah status bangkainya.
Pihak yang berpendapat bangkainya itu termasuk dalam keumuman pengharaman, maka
mereka menghukumi darahnya juga demikian. Sementara pihak yang mengeluarkan bangkai
ikan dari keumuman dalil, maka mereka mengeluarkan hukum darahnya dari hukum
tersebut, karena diqiyaskan pada bangkai.
Penulis
berkata: Mereka juga berpendapat sucinya mayat manusia, demikian juga
darahnya, menurut kaidah mereka. Karena itu, Ibnu Rusyd mengomentari
setelahnya, "Nash hanya menunjukkan najisnya darah haid. Adapun selain itu
maka hukumnya tetap pada hukum asal yang telah disepakati di antara kedua pihak
yang bersengketa, yaitu suci. Dan, tidak boleh dikeluarkan dari hukum asal,
kecuali dengan nash yang dengannya hujjah dapat ditegakkan." Jika
ditanyakan: Mengapa tidak diqiyaskan saja dengan darah haid? Bukankah darah
haid adalah najis? Kita jawab: Ini adalah qiyas yang tidak tepat.
•
Karena darah haid adalah darah kebiasaan kaum wanita. Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya
ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita
keturunan Adam[9].
Rasulullah
Sallallahu
'alaihi wasallam bersabda
tentang darah istihadhah:
"Itu
adalah darah yang berasal dari urat.[10]
•
Kemudian darah haid adalah darah yang sangat kental dan berbau tidak sedap. Ia
menyerupai tinja dan air seni, bukan darah yang keluar dari selain dua jalur
tersebut.
Dinukil
dari shahih fikih sunnah karya abu malik kamal bin as-sayyid salim
Bid
ayah al-Mujtahid, dan Sail a/-Jarar' (1/31 ), asy-Syarh al-Mumti '(1/376),
Silsilah
ash-Shahihah, dan Tamam al-Minnah (hal. 50)
[4] Sanadnya shahih, hadits ini riwayat al-Bukhari
secara mu 'allaq (1/336), dan asalnya dari Ibnu Abu Syaibah dengan sanad
shahih, seperti disebutkan dalam Fatlz ai-Bari (I/337)
[5] Shahih, had its ini riwayat secara mu 'allaq
oleh al-Bukhari (1/336), dan diriwayatkan secara bersambung oleh Ahmad dan
selainnya dengan sanad shahih.
[8] Shahih, had its ini riwayat Abu Dawud (31 00)
secara ringkas, dan ath-Thabrani dalam al-Kabir (vi/7).