Apakah Darah Manusia Tergolong Najis?

Senin, 09 Juni 2014



1.   Darah haid

Darah ini najis, menurut kesepakatan ulama.

Dasarnya adalah hadits Asma' binti Abu Bakar,

عَنْ أَسْمَاءَ، قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ قَالَ: «تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، وَتَنْضَحُهُ، وَتُصَلِّي فِيهِ»

ia berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  dan berkata, 'Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami bajunya terkena darah haid. Apa yang harus dilakukannya?' Beliau menjawab: 'Hendaklah ia mengeriknya, kemudian menggosoknya[1] dengan air, lalu menyiramnya. Setelah itu, silahkan ia gunakan untuk shalat'.[2] "


2. Darah manusia[3]

Terdapat perselisihan pendapat mengenainya. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama-ulama madzhab fiqih bahwa darah adalah najis. Namun, mereka tidak memiliki hujjah. Hanya saja darah itu diharamkan berdasarkan nash al-Quran, dalam firman-Nya:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ (145)

Katakanlah, 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi; karena sesungguhnya semua itu kotor'." (Al-An'am: 145)

Menurut mereka, pengharaman itu mengindikasikan kenajisan, sebagaimana yang mereka lakukan berkenaan dengan Khamer. Dan ini sudah jelas. Tetapi telah dinukil dari sejumlah ulama tentang ijma' penajisannya. Akan disebutkan pembahasannya tentang hal ini.

Di lain pihak, sejumlah ulama muta'akhirin, di antaranya asySyaukani, Shiddiq Khan, al-Albani, dan Ibnu Utsaimin berpendapat mengenai kesuciannya. Karena, menurut mereka, tidak ada ketetapan ijma'. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut ini:

a.     

Hukum asal segala sesuatu itu suci, hingga ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.
Kami tidak pernah mengetahui bahwa Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci darah selain darah haid. Padahal banyak orang sering mengalami luka atau sejenisnya. Jika darah itu najis, niscaya Nabi telah menjelaskannya karena masalah ini sangat dibutuhkan.

b.     Kaum Muslimin, dari dahulu hingga sekarang, tetap diperintahkan mengerjakan shalat dengan luka-luka yang ada pada tubuh mereka. Bahkan ada yang mengalirkan darah sangat banyak yang tidak bisa ditolerir. Namun, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  bahwa beliau memerintahkan untuk mencucinya. Tidak pernah pula diriwayatkan, mereka mempersoalkan tentang darah-darah yang mengucur ini. Al-Hasan berkata, "Dari dahulu sampai sekarang kaum Muslimin tetap mengerjakan shalat dengan luka-luka pada tubuh mereka.[4]"

Dalam hadits sahabat Anshar, "Ketika ia shalat pada malam hari, ia dipanah oleh seorang Musyrik. Lalu ia mencabut panahnya dan meletakkannya. Hingga ia dipanah sampai tiga kali. Kemudian ia ruku, sujud, dan terus melanjutkan shalatnya, sementara darah terus mengalir." [5]


Syaikh al-Albani ; berkata[6], "Hadits ini memiliki hukum marfu', karena mustahil Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  tidak mengetahuinya. Jika darah yang banyak keluar itu membatalkan wudhunya, tentulah Nabi telah menjelaskannya. Karena menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan adalah tidak boleh, seperti yang dikenal dalam kaidah ilmu ushul. Anggaplah Nabi tidak mengetahuinya, tapi hal ini tidak tersembunyi bagi Allah Subhana Wata'ala  yang tidak ada perkara yang tersembunyi bagi-Nya di langit dan di bumi. Jika itu membatalkan wudhu, atau najis, tentulah Allah telah mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi-Nya, sebagaimana kenyataannya yang sudah jelas bagi siapa pun."

Dalam hadits tentang terbunuhnya Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu  disebutkan, "Umar terus mengerjakan shalat, sementara darahnya membasahi sekujur tubuhnya.[7]"88 Yakni darahnya terus mengalir.


c.      

Hadits Aisyah radhiallahu 'anha tentang kisah kematian Sa'd bin Muadz, ia berkata, "Sa'd bin Muadz terluka pada peperangan Khandak karena dipanah oleh seorang laki-laki pada pelipisnya. Lalu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  membuatkan kemah di masjid agar mudah untuk menjenguknya. Ketika malam tiba, melebarlah lukanya, lalu mengalirlah darah dari lukanya hingga membasahi kemah yang ada di sampingnya. Mereka berkata, 'Hai penghuni kemah, apa yang kalian kirimkan kepada kami?' Ketika mereka melihatnya, ternyata luka Sa'd telah pecah dan darahnya memancar dengan deras. Kemudian dia pun meninggal.[8] "89

Penulis berkata: Tidak diriwayatkan bahwa Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  memerintahkan untuk menyiramkan air padanya. Apalagi hal ini terjadi di masjid, sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengguyurkan air pada air seni orang Arab Badui.

d.     Ketika Ibnu Rusyd menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang darah ikan, dia menyebutkan sebab perselisihan mereka, yaitu tentang masalah status bangkainya. Pihak yang berpendapat bangkainya itu termasuk dalam keumuman pengharaman, maka mereka menghukumi darahnya juga demikian. Sementara pihak yang mengeluarkan bangkai ikan dari keumuman dalil, maka mereka mengeluarkan hukum darahnya dari hukum tersebut, karena diqiyaskan pada bangkai.

Penulis berkata: Mereka juga berpendapat sucinya mayat manusia, demikian juga darahnya, menurut kaidah mereka. Karena itu, Ibnu Rusyd mengomentari setelahnya, "Nash hanya menunjukkan najisnya darah haid. Adapun selain itu maka hukumnya tetap pada hukum asal yang telah disepakati di antara kedua pihak yang bersengketa, yaitu suci. Dan, tidak boleh dikeluarkan dari hukum asal, kecuali dengan nash yang dengannya hujjah dapat ditegakkan." Jika ditanyakan: Mengapa tidak diqiyaskan saja dengan darah haid? Bukankah darah haid adalah najis? Kita jawab: Ini adalah qiyas yang tidak tepat.

• Karena darah haid adalah darah kebiasaan kaum wanita. Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  bersabda:

"Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita keturunan Adam[9].
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  bersabda tentang darah istihadhah:
"Itu adalah darah yang berasal dari urat.[10]

• Kemudian darah haid adalah darah yang sangat kental dan berbau tidak sedap. Ia menyerupai tinja dan air seni, bukan darah yang keluar dari selain dua jalur tersebut.

Dinukil dari shahih fikih sunnah karya abu malik kamal bin as-sayyid salim




[1] Yaitu menggosoknya dengan ujung jari agar lepas dan hilang.
[2] Muttafaq 'alaihi: AI-Bukhari (227) dan Muslim (291)
[3] Tafsir al-Qurtubi (Il/221 ), al-Majmu '(II/511 ), al-Mulwlla (Ill 02), al-Kafi (I /II 0),
Bid ayah al-Mujtahid, dan Sail a/-Jarar' (1/31 ), asy-Syarh al-Mumti '(1/376), Silsilah
ash-Shahihah, dan Tamam al-Minnah (hal. 50)

[4] Sanadnya shahih, hadits ini riwayat al-Bukhari secara mu 'allaq (1/336), dan asalnya dari Ibnu Abu Syaibah dengan sanad shahih, seperti disebutkan dalam Fatlz ai-Bari (I/337)
[5] Shahih, had its ini riwayat secara mu 'allaq oleh al-Bukhari (1/336), dan diriwayatkan secara bersambung oleh Ahmad dan selainnya dengan sanad shahih.
[6] Tamam al-Minnah (hal. 51-52)
[7] Shahih, hadits ini riwayat Malik (82), al-Baihaqi (l/357) dan selainnya, dengan sanad shahih.

[8] Shahih, had its ini riwayat Abu Dawud (31 00) secara ringkas, dan ath-Thabrani dalam al-Kabir (vi/7).
[9] Shahih, riwayat ai-Bukhari (294) dan Muslim (1211 ).
[10] Shahih, riwayat al-Bukhari (327) dan Muslim (333).