Penyelewengan Terhadap Ayat
يَوْمَ
نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
(Ingatlah) suatu hari (yang
pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya..[al-Isra : 71]
PENYELEWENGAN MAKNA AYAT
Sebagian kelompok, dengan
sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat tersebut, berkaitan
dengan penyebutan kata "imam". Mereka melakukan penyelewengan
terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau
kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang
hebat, lantaran akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat
kelak. Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.
Di antara golongan yang
"memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah, Kalangan lainnya, yaitu
Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini untuk mempropagandakan
thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah dicetuskan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalangan Sufi menggiring jamaah-jamaahnya untuk
taat kepada para syuyûkh (guru) penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat
tersebut tidak ada muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini
akan menjadi jelas dari dua sisi.[2]
Pertama : Para ulama besar
dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun dari mereka yang memaknai kata
"imam" dengan makna "syaikh-syaikh tarikat". Orang-orang
yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu, seperti Ibnu 'Abbâs, al-Hasan
al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata
"imam" dengan makna kitab yang berisi amalan-amalan. Demikian pula
Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan
pengertian ini dengan merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.
Menurut al-Qâsimi
rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah itulah pendapat
yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan sebagian ayatnya dengan sebagian
lainnya. Dan yang pertama kali perlu diperhatikan dalam memahami makna-makna
ayat-ayat Al-Qur`ân, yaitu dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.
Kedua : Seandainya yang
dimaksud dengan "imam" adalah syaikh thariqah –sebagaimana klaim
kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk
menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau keharusan untuk memuliakannya.
Sebab, panggilan dengan namanya tidak mesti menunjukkan keutamaan diri
seseorang.
Imam ath-Thabari
rahimahullah sendiri merajihkan pengertian "imam" tersebut, ialah
orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.
Seperti sudah diketahui,
sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru dan menyambut setiap ajakan. Tidak
aneh jika mereka menyambut para tokoh kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan
dari sejumlah ulama tafsir dari Ibnu 'Abbas, berkata tentang tafsir kata
"imam mereka" dalam ayat, yaitu "imam dalam hidayah dan imam
dalam kesesatan".[3]
Keterangan ini juga telah
disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau: "Mungkin saja pengertian dari
"imam mereka", maksudnya ialah setiap kaum (dipanggil) dengan orang
yang mereka ikuti. Orang-orang beriman akan mengikuti para nabi, dan
orang-orang kafir akan mengikuti para tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang
artinya: Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke
neraka …. (al-Qashash/28:41).
Mujahid berkata,"Imam,
ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan dipanggil, datangkanlah para pengikut
Nabi Ibrahim, datangkanlah para pengikut Musa, datangkanlah para pengikut
setan, datangkanlah para pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di
atas al haq, akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para
penganut kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan
kiri".
Apabila telah jelas bahwa
"imam" itu bisa bermakna panutan dalam hidayah atau panutan dalam
kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang terkutuk, maupun berhala dan para
pemuja (penganut)nya akan dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan
dalam kebaikan maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka
status seorang syaikh thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis
mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri syaikh
thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan
ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran Rasulullah, sehingga ia pun
menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-ajaran Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan dalam
kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah.
Seandainya yang menjadi "imam" mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya
mereka tidak membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan
dalam al-Kitab dan as-Sunnah
DI ANTARA KLAIM PALSU
KALANGAN SUFI[4]
Seorang penganut thariqat
Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia mengatakan kepada jamaahnya, bahwa thariqat
mereka merupakan thariqat terbaik dan akan menjadi maraji` (rujukan) bagi semua
wali Allah.
Al-Fûti berkata: "Pada
hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh mereka dan memanggil mereka
untuk mendekati syaikh mereka di atas kedudukannya … kalau para jamaah
dipanggil dengan nama-nama syaikh (thariqah) mereka dan Allah memanggil para
ahli thariqat untuk menuju tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat
syaikh, maka menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut
penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu konsisten
dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada orang lain yang
mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu ahli ma'rifah, shiddiqîn
dan para aghwâts, selain para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari sini, kalangan awam tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang
lainnya". Lihat ar-Rimâh, 2/29.
Al-Fûti kian menampakkan
rasa percaya diri terhadap kehebatan thariqatnya, dengan perkataannya:
"Sungguh, seluruh wali akan memasuki kelompok kita, akan mengambil
wirid-wirid kita, dan konsisten dengan thariqat kita, (wali-wali Allah) dari
zaman pertama kali muncul kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi
telah bangkit di akhir zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk
kelompok kita". Lihat ar-Rimâh, 2/29.
Sanggahan : Perhatikanlah,
sejauh mana kebenaran klaim di atas. Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang
sebenarnya) sejak pertama muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat
Tijâniyyah?
Ini sebuah klaim yang
membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat. Bagaimana mungkin
orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad at-Tijâni dilahirkan itu
bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu anggapan aneh yang sangat nyata.
Di bagian lain al-Fûti
mengomentari orang-orang yang berada di luar thariqatnya. Dia berkata:
"Adapun orang-orang yang masih berada dalam kegelapan, kebodohan,
kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang yang belum mengikuti
Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka untuk bersandar dengan syaikh
kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah begitu nampak kemuliaan dan keutamaan
thariqatnya, serta keistimewaan para pengikutnya; seperti terangnya sinar
matahari siang hari di musim panas, kecuali mereka akan tercampakkan dari
rahmat Allah Ta'ala, terhambat dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan
kerugian". Lihat ar-Rimâh, 2/44.
Seorang dai Tijâni bernama
Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: "Berdasarkan sebagian pengertian yang
dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa mengetahui bahwa orang yang
memperoleh taufik dari Allah untuk bergabung dengan thariqat kami, niscaya
kebahagiaannya di dunia dan akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang
dicintai dan diterima di sisi Allah, walau bagaimanapun kondisinya". Lihat
as-Sirrul-Akbar wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).
Begitu pula salah seorang
dari kalangan thariqat Rifâ'iyyah. Setelah menunjukkan kemampuan syaikhnya yang
luar biasa, seperti menempuh jarak sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan
satu langkah saja, mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata:
"Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di
majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat
dengan namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh Allah Subhanahu wa
Ta'ala tidak akan menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena ia
termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka
semua telah mengetahui bahwa tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan
keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk faktor paling efektif untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka mengharuskan diri dan
keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen dengan
thariqatnya" Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.
Oleh karena itu, setiap kaum
Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam beragama ialah dengan mengikuti
pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.
Oleh: Ustadz Abu Minhâl
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008
Footnote
[2]. Dinukil dari
Taqdîsul-Asykhâs, 1/348-352.
[3]. Fat-hul-Qadîr, 3/248.
Nukilan dari Taqdîshul-Ashkhâs, 1/348.
[4]. Dikutip dari
Taqdisul-Asykhâs, I/349-350.