Diantara pembatal wudhu, Tidur yang Lelap Hingga Tidak Sadarkan Diri

Minggu, 15 Juni 2014

Atsar-atsar yang ada dalam masalah ini saling berselisih tentang wudhu karena tidur, dan zhahirnya saling bertentangan. Ada hadits-hadits yang secara zhahir menjelaskan tidak wajibnya wudhu karena tidur, sementara hadits-hadits lainnya secara zhahir mewajibkan wudhu, karena sesungguhnya tidur adalah hadats.

Dalam hal ini ulama terbagi dalam dua pendapat:
madzhab yang menempuh jalan kompromi dan madzhab tarjih.
Barangsiapa yang berpendapat dengan madzhab tarjih, maka ·ada dua kemungkinan:

Pertama,
ia menggugurkan kewajiban berwudhu karena tidur secara mutlak, dengan alasan tidur bukan hadats. Kedua, ia mewajibkan wudhu secara mutlak, dengan alasan tidur adalah hadats. Sebaliknya, barangsiapa memilih madzhab yang menempuh jalan kompromi, ia berpendapat bahwa tidur bukanlah hadats, melainkan hanya dugaan kuat adanya hadats.

Mereka berselisih tentang sifat tidur yang mewajibkan wudhu. Inilah tiga cara yang ditempuh ulama, dan dari ketiganya bercabang menjadi delapan pendapat[1] berikut ini:

Pertama, tidur tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya Ibnu Umar dan Abu Musa al-Asy'ari. Ini juga pendapat Sa'id bin Jubair, Makhul, Ubaidah asSalmani, al-Auza'i dan selainnya. Hujjah mereka adalah:

a.   Hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu , ia mengatakan, "Shalat sudah diiqamati, sementara Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  berbisik dengan seseorang. Beliau masih terus berbisik dengan seseorang hingga para sahabat tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat mengimami mereka[2].
b.   Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, aku mendengar Anas berkata, "Para sahabat Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  pernah tidur, kemudian mereka bangun mengerjakan shalat tanpa berwudhu." Perawi berkata, "Aku berkata, 'Apakah engkau mendengarnya dari Anas?' Qatadah menjawab, 'Ya, demi Allah[3]' Dalam suatu redaksi, "Mereka menunggu shalat hingga mengantuk dan tertunduk kepala mereka, kemudian mereka bangkit untuk mengerjakan shalat."
c.   Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu , ia berkata, "Aku tidur di rumah bibiku, Maimunah, lalu Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam  berdiri untuk shalat dan aku pun berdiri di sisi kirinya. Beliau memegang tanganku dan memindahkanku di sebelah kanannya. Jika aku tertidur, beliau memegang daun telingaku." Ibnu Abbas melanjutkan, "Saat itu beliau shalat sebelas rakaat.[4]"
d.   Hadits lbnu Abbas tentang tidurnya di rumah Maimunah, yang di dalamnya disebutkan, "Kemudian beliau ~ tidur hingga aku mendengar dengkurannya, lalu beliau bangkit dan keluar untuk shalat[5]." Dalam redaksi lain, "Lalu beliau bangkit untuk shalat dan tidak berwudhu."

Kedua, tidur membatalkan wudhu secara mutlak.
Tidak ada perbedaan antara tidur sebentar dan lama. lni adalah pendapat Abu Hurairah, Abu Rafi', 'Amr bin az-Zubair, 'Atha', al-Hasan al-Bashri, Ibnu al-Musa.yyab, az-Zuhri, al-Muzani, lbnu al-Mundzir, Ibnu Hazm, dan pendapat yang dipilih oleh al-Albani. Dalil mereka adalah:

a.    Hadits Shafwan bin 'Assai, ia berkata, "Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  memerintahkan kami mengusap sepatu-sepatu kami jika bepergian jauh, dan tidak perlu melepasnya selama tiga hari karena buang air besar, buang air kecil dan tidur, kecuali karena jinabat[6]." Menurut mereka, Rasulullah menyamakan semua tidur, tidak mengkhususkan yang sebentar dari yang lama, dan suatu kondisi dari kondisi yang lain, serta beliau menyamakannya dengan buang air besar dan buang air kecil.
b.    Berdasarkan riwayat Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhu , dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam : "Kedua mata adalah pengikat bagi dubur; barangsiapa yang tidur, maka hendaklah ia berwudhu[7].Namun, hadits ini dhaif.
c.    Hadits dari Aisyah radhiallahu 'anha , Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  bersabda: "Jika salah seorang dari kalian mengantuk pada saat sedang shalat, maka hendaklah ia tidur hingga hilang kantuknya. Sebab apabila salah seorang dari kalian mengerjakan shalat dalam kedaan mengantuk, maka ia tidak sadar barangkali ia ingin minta ampunan tapi ternyata ia mencaci maki dirinya sendiri.[8] Imam al-Bukhari, berdalil dengan hadits ini dalam Shahih-nya akan wajibnya berwudhu karena tidur.

Yang tampak jelas bagi penulis adalah bahwa pengambilan dalil dari hadits ini perlu ditinjau ulang. Karena illat (alasan) meninggalkan shalat guna untuk tidur adalah karena dikhawatirkan ia akan berdoa mengutuk dirinya sendiri atau tidak mengerti apa yang diucapkannya, serta tidak dapat menghadirkan hatinya dalam shalatnya sehingga tiada kekhusyuan. Ini semua tidak ada kaitannya dengan wudhu karena habis tidur. Bahkan hadits ini bisa menjadi dalil bagi orang yang berpendapat bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Silakan menelitinya kembali.

d.    Mereka mengatakan, para ulama telah sepakat akan wajibnya wudhu bagi orang yang hilang akalnya karena gila, pingsan, atau segala kondisi yang menyebabkan hilangnya aka!, termasuk tidur.


Ketiga, tidur lama membatalkan wudhu dan tidur sebentar tidak.

Ini adalah pendapat Imam Malik dan satu riwayat dari Ahmad. Ini adalah pendapat yang dipilih az-Zuhri, Rabi'ah dan al-Auza'i. Mereka memahami hadits Anas tentang tidurnya para sahabat sebagai tidur sebentar. Mereka berargumen dengan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu : "Barangsiapa yang tidur hingga terlelap, maka ia wajib berwudhu[9].
Tapi yang shahih, hadits ini mauquf pada Abu Hurairah. Mereka juga berargumen dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu  : "Wudhu diwajibkan atas setiap orang yang tidur, kecuali orang yang tertunduk-tunduk kepalanya, sekali atau dua kali saja[10].

Keempat, tidak batal wudhunya, kecuali jika ia tidur sambil bertelekan pada sesuatu atau bersandar. Adapun orang yang tidur dalam rupa orang yang shalat, seperti ruku, sujud, berdiri atau duduk, maka tidak batal wudhunya, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat. ini adalah pendapat Hammad, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan rekan-rekannya, Dawud dan asy-Syafi'i. Hujjah mereka adalah:

a. Diriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam  bersabda: "Tidak ada kewajiban berwudhu atas orang yang tidur sambil duduk hingga ia meletakkan badannya[11]. Namun haditsnya dhaif.

b. Hadits Anas radhiallahu 'anhu  dari Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam :
"Apabila seorang hamba tidur dalam sujudnya, maka Allah Subhana Wata'ala  membanggakannya di hadapan malaikat seraya mengatakan, 'Lihatlah hamba-Ku itu! Ruhnya ada dalam genggaman-Ku, sedangkan jasadnya dalam ketaatan pada-Ku[12]'.

Lalu mereka menganalogikan seluruh bentuk orang yang shalat pada sujud.

Penulis berkata: Hadits ini dhaif sanadnya. Al-Baihaqi berkata, "Kemudian tidak disebutkan dalam hadits tersebut bahwa ia tidak keluar dari shalatnya, tapi maksudnya-jika haditsnya shahih-adalah pujian bagi hamba yang terus mengerjakan shalat hingga tertidur."

Kelima, tidak membatalkan wudhu, kecuali tidur seperti orang yang ruku dan sujud.

An-Nawawi menisbatkannya kepada perkataan Ahmad. Mungkin alasannya adalah bahwa tidur dalam posisi ruku dan sujud diduga kuat dapat membatalkan wudhu (karena angin mudah keluar dari dubur).

Keenam, tidak membatalkan wudhu, kecuali tidur seperti orang yang sujud.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ahmad.

Ketujuh, tidur pada saat sedang shalat tidak membatalkan wudhu,
sedangkan tidur di luar shalat membatalkan wudhu. lni diriwayatkan dari Abu Hanifah, berdasarkan hadits yang telah lalu pada pendapat keempat.

Kedelapan, tidak membatalkan wudhu, jika ia tidur sambil duduk dengan mantap pada tempat duduknya, baik itu di dalam shalat maupun di luar shalat, baik lama maupun sebentar.
Ini adalah madzhab asy-Syafi'i, karena tidur menurutnya bukanlah hadats itu sendiri, tapi tidur adalah penyebab terbesar keluamya hadats. Imam asy-Syafi'i berkata, "Karena orang yang tidur sambil duduk bertumpu pada lantai, nyaris segala sesuatu yang keluar dari dirinya pasti disadarinya." Ini adalah pendapat yang dipilih asy-Syaukani.

Penulis berkata: Mereka yang berpendapat dengan pendapat ini membawakan hadits Anas tentang kisah tidumya para sahabat bahwa mereka tidur sambil duduk. Al-Hafizh telah membantahnya dalam al-Fath (I/251), "Namun dalam Musnad al-Bazzar dengan sanad yang shahih tentang hadits ini, 'Maka mereka menyandarkan tubuh mereka, di antara mereka ada yang tertidur. Kemudian mereka bangkit untuk mengerjakan shalat'[13]

Pendapat yang rajih: Tidur yang lelap hingga tiada kesadaran lagi dan ia tidak mendengar suara, jatuhnya sesuatu dari tangannya, keluar air liumya atau yang lainnya, maka itu membatalkan wudhu karena diduga kuat menyebabkan hadats. Tidak ada bedanya dalam masalah ini, baik tidur dalam keadaan berdiri, duduk, bersandar, ruku maupun sujud.
Jika pada pendapat pertama yang mereka maksud dengan tidur adalah tidur yang seperti ini, maka kami sependapat dengan mereka. Jika tidak, maka tidur sebentar, yaitu mengantuk di mana seorang masih merasakan sesuatu, seperti yang disebutkan di atas, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhu dalam semua kondisi tidur; berdasarkan hadits tentang tidumya para sahabat sehingga kepala mereka tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas tentang shalatnya bersama Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam . Dengan demikian, semua dalil yang ada dalam masalah ini dapat dikompromikan. Alhamdulillah.

Faidah: Karena tidur adalah penyebab utama keluamya hadats yang mewajibkan wudhu, maka perkara batal atau tidaknya wudhu diserahkan kepada yang bersangkutan sesuai dengan kondisi tidumya, dan yang paling dominan menurut dugaannya. Jika ia ragu apakah tidumya membatalkan wudhu atau tidak, maka secara zhahir wudhunya tidak batal, karena thaharah ditetapkan berdasarkan keyakinan dan tidak hilang karena keraguan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa (XXI/230).



[1] Lihat pendapat-pendapat tersebut dalam al-Muhalla (I/222-231 ), al-lstidzkar (I/191), alAusath (11142), Fath al-Bari (I/376), asy-Syarh Muslim, an-Nawawi (II/370-Qal'aji) dan Nail al-Authar (I/241 ).
[2] Shahih, hadits ini riwayat ai-Bukhari (6192) dan Muslim (376) dan lafal ini darinya.

[3] Shahih, hadits ini riwayat Muslim (376) dan at-Tirmidzi (78)
[4] Shahih, hadits ini riwayat al-Bukhari (117) dan Muslim (763), lafal ini darinya.
[5] Shahih, hadits ini riwayat al-Bukhari (117), Muslim (184) dan Ahmad (I/341).
[6] Hasan, hadits ini riwayat an-Nasa'i (1/32), at-Tirmidzi (3535), Jbnu Majah (478) dan lihat al-irwa' (I04).
[7] Dhaif, hadits ini riwayat Abu Dawud (203), Jbnu Majah (477) dan selain keduanya. Hadits ini dhaif menurut pendapat yang kuat, tapi Syaikh al-Albani menghasankannya.
[8] Shahih, hadits ini riwayat a1-Bukhari (212) dan Muslim (222).

[9] Shahih secara mauquf, hadits ini riwayat Ibnu Abu Syaibah (1/158) dan Abdurrazzaq (481) secara mauquf dengan sanad shahih. Disebutkan juga secara marfu', tetapi adDaruquthni tidak menshahihkannya da1am a!-'llal (VIII/328). Lihat adh-Dhaifah (954).
[10] Dhaif secara mauquf dan mmfu ', hadits ini riwayat Abdurrazzaq (479), ai-Baihaqi (I/119), dan 1ihat al-llal, ad-Daruquthni (VIII/31 0).
[11] Munkar, hadits ini riwayat Ibnu 'Adi dalam al-Kamil (VI/2459), ad-Daruquthni (I/160) dan ath-Jhabrani dalam al-Ausath.
[12] Dhaif, Iihat Silsilah adh-Dhaifah (953).
[13] Sanadnya shahih, hadits ini riwayat a!-Bazzar dan selainnya. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dalam Masa 'il Ahmad (hal.318) dan sanadnya shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Lihat Tamam al-Minnah (hal. 100).