Atsar-atsar
yang ada dalam masalah ini saling berselisih tentang wudhu karena tidur, dan
zhahirnya saling bertentangan. Ada hadits-hadits yang secara zhahir menjelaskan
tidak wajibnya wudhu karena tidur, sementara hadits-hadits lainnya secara
zhahir mewajibkan wudhu, karena sesungguhnya tidur adalah hadats.
Dalam
hal ini ulama terbagi dalam dua pendapat:
madzhab yang menempuh jalan kompromi
dan madzhab tarjih.
Barangsiapa
yang berpendapat dengan madzhab tarjih, maka ·ada dua kemungkinan:
Pertama,
ia
menggugurkan kewajiban berwudhu karena tidur secara mutlak, dengan alasan tidur
bukan hadats. Kedua, ia mewajibkan wudhu secara mutlak, dengan alasan
tidur adalah hadats. Sebaliknya, barangsiapa memilih madzhab yang menempuh
jalan kompromi, ia berpendapat bahwa tidur bukanlah hadats, melainkan hanya
dugaan kuat adanya hadats.
Mereka berselisih tentang sifat tidur
yang mewajibkan wudhu. Inilah tiga cara yang ditempuh ulama, dan dari ketiganya
bercabang menjadi delapan pendapat[1] berikut
ini:
Pertama,
tidur tidak membatalkan wudhu
secara mutlak. Ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya Ibnu Umar
dan Abu Musa al-Asy'ari. Ini juga pendapat Sa'id bin Jubair, Makhul, Ubaidah
asSalmani, al-Auza'i dan selainnya. Hujjah mereka adalah:
a.
Hadits Anas
bin Malik radhiallahu
'anhu , ia mengatakan, "Shalat sudah diiqamati, sementara Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam berbisik dengan seseorang. Beliau
masih terus berbisik dengan seseorang hingga para sahabat tertidur. Kemudian
beliau datang lalu shalat mengimami mereka[2].
b.
Diriwayatkan
dari Qatadah, ia berkata, aku mendengar Anas berkata, "Para sahabat Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam pernah tidur, kemudian mereka
bangun mengerjakan shalat tanpa berwudhu." Perawi berkata, "Aku
berkata, 'Apakah engkau mendengarnya dari Anas?' Qatadah menjawab, 'Ya, demi
Allah[3]'
Dalam suatu redaksi, "Mereka menunggu shalat hingga mengantuk dan
tertunduk kepala mereka, kemudian mereka bangkit untuk mengerjakan
shalat."
c.
Hadits dari
Ibnu Abbas radhiallahu
'anhu , ia berkata, "Aku tidur di rumah bibiku, Maimunah, lalu Nabi
Sallallahu
'alaihi wasallam berdiri
untuk shalat dan aku pun berdiri di sisi kirinya. Beliau memegang tanganku dan
memindahkanku di sebelah kanannya. Jika aku tertidur, beliau memegang daun
telingaku." Ibnu Abbas melanjutkan, "Saat itu beliau shalat sebelas
rakaat.[4]"
d.
Hadits lbnu
Abbas tentang tidurnya di rumah Maimunah, yang di dalamnya disebutkan, "Kemudian
beliau ~ tidur
hingga aku mendengar dengkurannya, lalu beliau bangkit dan keluar untuk shalat[5]." Dalam
redaksi lain, "Lalu beliau bangkit untuk shalat dan tidak
berwudhu."
Kedua,
tidur membatalkan wudhu secara
mutlak.
Tidak
ada perbedaan antara tidur sebentar dan lama. lni adalah pendapat Abu Hurairah,
Abu Rafi', 'Amr bin az-Zubair, 'Atha', al-Hasan al-Bashri, Ibnu al-Musa.yyab,
az-Zuhri, al-Muzani, lbnu al-Mundzir, Ibnu Hazm, dan pendapat yang dipilih oleh
al-Albani. Dalil mereka adalah:
a.
Hadits
Shafwan bin 'Assai, ia berkata, "Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami mengusap
sepatu-sepatu kami jika bepergian jauh, dan tidak perlu melepasnya selama tiga
hari karena buang air besar, buang air kecil dan tidur, kecuali karena jinabat[6]."
Menurut mereka, Rasulullah menyamakan semua tidur, tidak mengkhususkan yang
sebentar dari yang lama, dan suatu kondisi dari kondisi yang lain, serta beliau
menyamakannya dengan buang air besar dan buang air kecil.
b.
Berdasarkan
riwayat Ali bin Abu Thalib radhiallahu
'anhu , dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam : "Kedua mata adalah pengikat
bagi dubur; barangsiapa yang tidur, maka hendaklah ia
berwudhu[7].Namun,
hadits ini dhaif.
c.
Hadits dari
Aisyah radhiallahu 'anha ,
Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian mengantuk pada saat sedang shalat, maka
hendaklah ia tidur hingga hilang kantuknya. Sebab apabila salah seorang dari
kalian mengerjakan shalat dalam kedaan mengantuk, maka ia tidak sadar
barangkali ia ingin minta ampunan tapi ternyata ia mencaci maki dirinya sendiri.[8]
Imam al-Bukhari, berdalil
dengan hadits ini dalam Shahih-nya akan wajibnya berwudhu karena tidur.
Yang
tampak jelas bagi penulis adalah bahwa pengambilan dalil dari hadits ini perlu
ditinjau ulang. Karena illat (alasan) meninggalkan shalat guna untuk
tidur adalah karena dikhawatirkan ia akan berdoa mengutuk dirinya sendiri atau
tidak mengerti apa yang diucapkannya, serta tidak dapat menghadirkan hatinya dalam
shalatnya sehingga tiada kekhusyuan. Ini semua tidak ada kaitannya dengan wudhu
karena habis tidur. Bahkan hadits ini bisa menjadi dalil bagi orang yang
berpendapat bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Silakan menelitinya kembali.
d.
Mereka mengatakan,
para ulama telah sepakat akan wajibnya wudhu bagi orang yang hilang akalnya
karena gila, pingsan, atau segala kondisi yang menyebabkan hilangnya aka!,
termasuk tidur.
Ketiga,
tidur lama membatalkan wudhu
dan tidur sebentar tidak.
Ini
adalah pendapat Imam Malik dan satu riwayat dari Ahmad. Ini adalah pendapat
yang dipilih az-Zuhri, Rabi'ah dan al-Auza'i. Mereka memahami hadits Anas
tentang tidurnya para sahabat sebagai tidur sebentar. Mereka berargumen dengan
hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu :
"Barangsiapa yang tidur hingga terlelap, maka ia
wajib berwudhu[9].
Tapi
yang shahih, hadits ini mauquf pada Abu Hurairah. Mereka juga berargumen
dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu
'anhu : "Wudhu
diwajibkan atas setiap orang yang tidur, kecuali orang yang tertunduk-tunduk
kepalanya, sekali atau dua kali saja[10].
Keempat,
tidak batal wudhunya, kecuali
jika ia tidur sambil bertelekan pada sesuatu atau bersandar. Adapun orang yang
tidur dalam rupa orang yang shalat, seperti ruku, sujud, berdiri atau duduk,
maka tidak batal wudhunya, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat.
ini adalah pendapat Hammad, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan rekan-rekannya, Dawud
dan asy-Syafi'i. Hujjah mereka adalah:
a.
Diriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, yaitu Abdullah
bin 'Amr bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak ada kewajiban berwudhu atas orang yang tidur sambil duduk hingga
ia meletakkan badannya[11]. Namun haditsnya
dhaif.
b.
Hadits Anas radhiallahu 'anhu dari Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam :
"Apabila
seorang hamba tidur dalam sujudnya, maka Allah Subhana Wata'ala membanggakannya di hadapan
malaikat seraya mengatakan, 'Lihatlah hamba-Ku itu! Ruhnya ada dalam
genggaman-Ku, sedangkan jasadnya dalam ketaatan pada-Ku[12]'.
Lalu
mereka menganalogikan seluruh bentuk orang yang shalat pada sujud.
Penulis
berkata: Hadits ini dhaif sanadnya. Al-Baihaqi berkata, "Kemudian
tidak disebutkan dalam hadits tersebut bahwa ia tidak keluar dari shalatnya,
tapi maksudnya-jika haditsnya shahih-adalah pujian bagi hamba yang terus
mengerjakan shalat hingga tertidur."
Kelima,
tidak membatalkan wudhu,
kecuali tidur seperti orang yang ruku dan sujud.
An-Nawawi
menisbatkannya kepada perkataan Ahmad. Mungkin alasannya adalah bahwa tidur
dalam posisi ruku dan sujud diduga kuat dapat membatalkan wudhu (karena angin mudah keluar dari
dubur).
Keenam,
tidak membatalkan wudhu,
kecuali tidur seperti orang yang sujud.
Pendapat
ini juga diriwayatkan dari Ahmad.
Ketujuh,
tidur pada saat sedang shalat
tidak membatalkan wudhu,
sedangkan
tidur di luar shalat membatalkan wudhu. lni diriwayatkan
dari Abu Hanifah, berdasarkan hadits yang telah lalu pada pendapat
keempat.
Kedelapan,
tidak membatalkan wudhu, jika
ia tidur sambil duduk dengan mantap pada tempat duduknya, baik itu di dalam
shalat maupun di luar shalat, baik lama maupun sebentar.
Ini
adalah madzhab asy-Syafi'i, karena tidur menurutnya bukanlah hadats itu
sendiri, tapi tidur adalah penyebab terbesar keluamya hadats. Imam asy-Syafi'i
berkata, "Karena orang yang tidur sambil duduk bertumpu pada lantai,
nyaris segala sesuatu yang keluar dari dirinya pasti disadarinya." Ini
adalah pendapat yang dipilih asy-Syaukani.
Penulis
berkata: Mereka yang berpendapat dengan pendapat ini membawakan hadits Anas
tentang kisah tidumya para sahabat bahwa mereka tidur sambil duduk. Al-Hafizh
telah membantahnya dalam al-Fath (I/251), "Namun dalam Musnad
al-Bazzar dengan sanad yang shahih tentang hadits ini, 'Maka mereka
menyandarkan tubuh mereka, di antara mereka ada yang tertidur. Kemudian mereka
bangkit untuk mengerjakan shalat'[13]
Pendapat yang rajih:
Tidur yang lelap hingga tiada kesadaran lagi dan ia tidak
mendengar suara, jatuhnya sesuatu dari tangannya, keluar air liumya atau yang
lainnya, maka itu membatalkan wudhu karena diduga kuat menyebabkan hadats.
Tidak ada bedanya dalam masalah ini, baik tidur dalam keadaan berdiri, duduk,
bersandar, ruku maupun sujud.
Jika
pada pendapat pertama yang mereka maksud dengan tidur adalah tidur yang seperti
ini, maka kami sependapat dengan mereka. Jika tidak, maka tidur sebentar, yaitu
mengantuk di mana seorang masih merasakan sesuatu, seperti yang disebutkan di
atas, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhu dalam semua kondisi tidur;
berdasarkan hadits tentang tidumya para sahabat sehingga kepala mereka
tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas tentang shalatnya bersama Nabi Sallallahu
'alaihi wasallam . Dengan demikian, semua dalil yang ada dalam masalah ini
dapat dikompromikan. Alhamdulillah.
Faidah:
Karena tidur adalah penyebab
utama keluamya hadats yang mewajibkan wudhu, maka perkara batal atau tidaknya
wudhu diserahkan kepada yang bersangkutan sesuai dengan kondisi tidumya, dan yang
paling dominan menurut dugaannya. Jika ia ragu apakah tidumya membatalkan wudhu
atau tidak, maka secara zhahir wudhunya tidak batal, karena thaharah ditetapkan
berdasarkan keyakinan dan tidak hilang karena keraguan. Inilah pendapat yang
dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam al-Fatawa (XXI/230).
[1] Lihat
pendapat-pendapat tersebut dalam al-Muhalla (I/222-231 ), al-lstidzkar
(I/191), alAusath (11142), Fath al-Bari (I/376), asy-Syarh
Muslim, an-Nawawi (II/370-Qal'aji) dan Nail al-Authar (I/241 ).
[2]
Shahih,
hadits ini riwayat ai-Bukhari (6192) dan Muslim (376) dan lafal ini darinya.
[6] Hasan, hadits
ini riwayat an-Nasa'i (1/32), at-Tirmidzi (3535), Jbnu Majah (478) dan lihat al-irwa'
(I04).
[7] Dhaif, hadits
ini riwayat Abu Dawud (203), Jbnu Majah (477) dan selain keduanya. Hadits ini
dhaif menurut pendapat yang kuat, tapi Syaikh al-Albani menghasankannya.
[8]
Shahih,
hadits ini riwayat a1-Bukhari (212) dan Muslim (222).
[9]
Shahih
secara mauquf, hadits ini riwayat Ibnu Abu Syaibah (1/158) dan
Abdurrazzaq (481) secara mauquf dengan sanad shahih. Disebutkan juga
secara marfu', tetapi adDaruquthni tidak menshahihkannya da1am a!-'llal
(VIII/328). Lihat adh-Dhaifah (954).
[10]
Dhaif
secara mauquf dan mmfu ', hadits ini riwayat Abdurrazzaq (479),
ai-Baihaqi (I/119), dan 1ihat al-llal, ad-Daruquthni (VIII/31 0).
[11] Munkar,
hadits ini riwayat Ibnu 'Adi dalam al-Kamil (VI/2459), ad-Daruquthni (I/160)
dan ath-Jhabrani dalam al-Ausath.
[13] Sanadnya
shahih, hadits ini riwayat a!-Bazzar dan selainnya. Diriwayatkan juga oleh Abu
Dawud dalam Masa 'il Ahmad (hal.318) dan sanadnya shahih sesuai dengan
syarat al-Bukhari dan Muslim. Lihat Tamam al-Minnah (hal. 100).