MARI SAMA-SAMA BELAJAR KEMBALI "KITABUSSHOLAH" HALAMAN 11-13
===============
===============
Bagaimana kita memahami fikih dari dua hadits yang saling bertolak belakang? Satu hadits menyebutkan menyentuh kemaluan membatalkan wudhu sementara hadits yang satu menyebutkan tidak membatalkan wudhu
Dan apa penjelasannya mengapa mangkulan jokam memilih hadits "menyentuh dzakar " tidak membatalkan wudhu secara mutlak?" dan meninggalkan hadits yang menyebutkan "menyentuh kemaluan membatalkan wudhu"? Padahal kita menganggap keduanya sama-sama shahihnya?
===============
الْوُضُوءِ مِنْ
مَسِّ الذَّكَرِ
BERWUDHU
KARENA MENYENTUH KEMALUAN
أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، ح وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ، عَنِ ابْنِ الْقَاسِمِ قَالَا: أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَذَكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ. فَقَالَ مرْوانُ: مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ الْوُضُوءُ. فَقَالَ عُرْوَةُ مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ. فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
حكم الألباني صحيح
Telah mengabarkan kepada kami Harun bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Ma'an Telah memberitakan kepada kami Malik dan Al Harits bin Miskin telah dibacakan kepadanya dan saya mendengarnya dari Ibnu Qasim berkata; Telah memberitakan kepada kami Malik dari Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazim bahwasannya dia mendengar Urwah bin zubair berkata; "Aku menemui Marwan bin Hakam, lalu kami menyebutkan hal yang mengharuskan untuk berwudlu. Lalu Marwan berkata, menyentuh kemaluan". Urwah berkata, "Aku tidak tahu hal tersebut. Lalu Marwan berkata lagi, Telah mengabarkan kepadaku ' Busrah binti Shafwan bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, " Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu."
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ شُعَيْبٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: ذَكَرَ مَرْوَانُ فِي إِمَارَتِهِ عَلَى الْمَدِينَةِ أَنَّهُ يُتَوَضَّأُ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ إِذَا أَفْضَى إِلَيْهِ الرَّجُلُ بِيَدِهِ، فَأَنْكَرْتُ ذَلِكَ، وَقُلْتُ: لَا وُضُوءَ عَلَى مَنْ مَسَّهُ فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ مَا يُتَوَضَّأُ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَيُتَوَضَّأُ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ» قَالَ عُرْوَةُ: فَلَمْ أَزَلْ أُمَارِي مَرْوَانَ حَتَّى دَعَا رَجُلًا مِنْ حَرَسِهِ فَأَرْسَلَهُ إِلَى بُسْرَةَ فَسَأَلَهَا عَمَّا حَدَّثَتْ مَرْوَانَ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بُسْرَةُ بِمِثْلِ الَّذِي حَدَّثَنِي عَنْهَا مَرْوَانُ* حكم الألباني- صحيح
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Al Mughirah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Usman bin Sa'id dari Syu'aib dari Az-Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Abu Bakr bin Amr bin Hazim bahwasanya dia mendengar Urwah bin Zubair berkata; "Marwan menyebutkan pada masa pemerintahannya di Madinah, bahwa hendaklah berwudlu karena memegang kemaluan dengan tangannya. Aku mengingkarinya dan aku mengatakan, 'tidak ada wudlu bagi yang menyentuhnya! ' lalu Marwan berkata, 'Busrah bin Shafwan mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, " Hendaklah berwudlu karena menyentuh kemaluan." Urwah berkata, "Tapi aku masih saja mendebat Marwan hingga dia memanggil seorang pengawalnya. dia mengutus kepada Busrah untuk menanyakan tentang hal yang dia kabarkan kepada Marwan, Kemudian Busrah mengabarkan seperti apa yang telah di kabarkan oleh Marwan kepadaku."
بَابُ تَرْكِ الْوُضُوءِ مِنْ ذَلِكَ
TIDAK BERWUDHU KARENANYA
أَخْبَرَنَا هَنَّادٌ، عَنْ مُلَازِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَرَى فِي رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: «وَهَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بِضْعَةٌ مِنْكَ» حكم الألباني- صحيح
Telah mengabarkan kepada kami Hannad dari Mulazim dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalq bin Ali dari Bapaknya dia berkata; "Kami keluar (dari daerah kami) hingga kami sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu kami berbaiat kepadanya dan shalat bersamanya. Setelah selesai shalat datanglah seseorang yang kelihatannya seorang badui, dia berkata, 'Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Apa pendapat engkau tentang orang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, ' Bukankah itu hanya bagian dari dagingmu?
PEMBAHASAN:
Perkara-perkara yang membatalkan wudhu
1.
Keluarnya
air seni, tinja atau angin dari dua jalan (dubur dan kemaluan)
2.
Keluarnya
mani, wadi, madzi
3.
Tidur yang
lelap hingga tak sadarkan diri
4.
Hilangnya
akal disebabkan mabuk, pingsan atau gila
5.
Menyentuh
Kemaluan Tanpa Alas, Baik Dengan Syahwat Maupun
Tanpa Syahwat
6.
Memakan
daging onta
Menyentuh
Kemaluan Tanpa Alas, Baik Dengan Syahwat
Maupun Tanpa Syahwat
Mengenai
batalnya wudhu karena memegang kemaluan, terdapat
empat pendapat ulama. Dua pendapat dengan tarjih dan dua pendapat dengan jalan kompromi:
Pertama,
menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini
adalah madzhab Abu Hanifah dan.salah satu riwayat dari Malik. lni juga
pendapat; yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat[1].
Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut:
a.
Hadits Thalaq
bin Ali, seseorang bertanya kepada. Nabi tentang orang yang memegang
kemaluannya setelah berwudhu, Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bukankah
kemaluan itu bagian dari tubuhmu?"[2]
Dalam
redaksi lain bahwa orang yang bertanya. tersebut mengatakan, "Ketika aku
sedang shalat, tiba-tiba ·aku menggaruk paha dan tanganku menyentuh kemaluanku."
Maka Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Sesungguhnya itu adalah
bagian dari tubuhmu."[3]
b.
Menurut
mereka, tidak ada perselisihan ketika kemaluan bersentuhan dengan paha, tidak
mewajibkan wudhu. Sementara tidak ada perbedaan antara tangan dan paha.
Kemudian mereka mengomentari hadits Busrah[4]:-akan
segera disebutkan-Yang berisikan perintah berwudhu karena memegang kemaluan.
Kedua,
menyentuh kemaluan membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah
pendapat malik, dalam riwayat yang paling
masyhur darinya---,asy-Syafi'i, Ahmad, lbnu hazm, dan riwayat dan
mayoritas saahabat[5].
Hujjah mereka adalah:
a.
Hadits Busrah binti Shafwan, Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa
yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu[6].
c.
Hadits Ummu
Habibah rhadhiallahu ‘anha, Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa
yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu[7].
Diriwayatkan
juga hadits yang semakna dengan keduanya dari Abu
Hurairah,
Arwa binti Unais, Aisyah, Jabir, Zaid bin Khalid, dan Abdullah bin 'Amru .
Menurut
mereka, hadits dari Basrah lebih rajih daripada hadits Thalaq, berdasarkan
perkara berikut ini:
1.
Hadits Thalaq cacat, dan
telah dinyatakan kecacatannya oleh Abu Zur'ah dan Abu Hatim. Bahkan Imam
an-Nawawi menyatakan ,dalam al-Majmu' (11/42) bahwa para penghafal hadits sepakat
mengenai kedhaifan hadits ini.
2.
Bila hadits itu' shahih, maka tentunya hadits Abu huairah.---yang semakna
dengan hadits Basrah---harus lebih didahulukan karena Thalaq tiba di Madinah
ketika pembangunan Masjid Nabawi, sedangkan Abu Hurairah masuk Islam saat
peperangan Khaibar, yaitu enam tahun setelah itu. Jadi, hadits Abu Hurairah ini
menghapuskan hadits·Thalaq[8]
3.
Hadits Thalaq sesuai dengan hukum asal dan hadits Basrah memindahkan dari hukum
asal. Hadits yang memindahkan dan hukum asal harus lebih didahulukan, karena
hukum-hukum syari’at sifatnya memindahkan dari perkara-perkara asal.
4
. Para perawi yang meriwayatkan batalnya wudhu karena memegang kemaluan lebih
banyak dan haditsnya lebih masyhur.
5.
Ini merupakan pendapat mayoritas sahabat.
6.
Hadits Thalaq itu bisa diartikan bahwa ia menggaruk pahanya dan terkena
kemaluannya yang beralaskan kain. Hal ini ditunjukkan dari riwayatnya yang
menyebutkan bahwa pada saat itu ia sedang shalat.
Ketiga,
membatalkan wudhu, jika menyentuh kemaluan dengan syahwat dan
tidak membatalkan, jika menyentuhnya dengan tanpa syahwat. lni salah satu riwayat
dari Malik, dan pendapat yang dipilih Syaikh al-Albani[9]. Mereka
membawa hadits Basrah kepada makna: jika memegangnya dengan syahwat, dan
membawa hadits Thalaq kepada makna: jika memegangnya dengan tanpa syahwat.
Menurut mereka, "Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Sallallahu 'alaihi
wasallam, "Sesungguhnya kemaluan itu bagian dari tubuhmu." Jika
seseorang menyentuh kemaluan dengan tanpa syahwat, maka hukumnya sama dengan
menyentuh bagian tubuh lainnya.
Keempat,
berwudhu karena memegang kemaluan adalah perkara mustahab secara
mutlak dan bukan wajib. lni adalah pendapat Ahmad dalam salah satu dari dua
riwayatnya, dan pendapat ibnu Taimiyah Sepertinya, inilah pendapat yang dipilih
Syaikh lbnu Utsaimin Namun, dia menganjurkan berwudhu: bila menyentuhnya dengan
tanpa syahwat, dan menegaskan kewajibannya bila menyentuhnya dengan syahwat
untuk kehati-hatian[10].
Mereka membawa haditsBasrah kepada makna istihbab, dan hadits Thalaq.
kepada makna pertanyaantersebut yaitu tentang wajib tidaknya berwudhu.
Dalil-dalil
yang dijadikan argumen oleh dua pendapat terakhir yang menempuh cara penggabungan adalah sebagai
berikut:
a.
Bahwa klaim penghapusan hadits Thalaq karena ia masuk islam lebih dahulu dari pada busrah perlu
ditinjau kembali, karena
ini bukanlah dalil yang menunjukkan
penghapusan, menurut para ahli tahqiq dari kalangan ulama ushul. Karena ada
kemungkinan orang yang lebih dahulu masuk Islam mendapatkan hadits dari
sahabat yang lainnya,
b.
Bahwa hadits Thalaq memiliki 'illat yang tidak dapat dihilangkan; Yaitu
bahwa kemaluan adalah bagian dari tubuh manusia. Jika hukum
itu
dikaitkan.dengan 'illat-nya, maka tidak mungkin 'illat-nya dihilangkan, sehingga otomatis
hukumnya tidak hilang. Dalam hal·ini, tidak mungkin terjadi penghapusan hukum.
c.
Kemudian kita
tidak boleh memilih cara penghapusan hukum, kecuali jika tidak mungkin lagi
untuk dikompromikan. Apalagi penghapusan hukum tersebut tidak sah, sebagaimana
telah dijelaskan.
Penulis
berkata: Pendapat terakhir adalah yang paling kuat, jika hadits Thalaq bin
‘ali shahih. · Namun hadits ini tidak dapat. diterima secara bulat, · bahkan pendapat
yang mendhaifkannya lebih diterima. Maka tinggallah pendapat yang menyatakan
bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik itu dengan
syahwat maupun dengan tanpa syahwat. Karena sesungguhnya syahwat itu tidak ada batasannya,
dan tidak ada dalil yang menunjukkan perincian hal tersebut. Wallahu a'lam.
Beberapa
hal yang bertalian dengan penjelasan yang telah lalu:
1.
Apabila
seorang wanita menyentuh kemaluannya, maka ia harus berwudhu juga.
Dasamya
adalah hadits 'Amru bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ، فَلْيَتَوَضَّأْ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ
Barang
siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu, Dan. Barang siapa
dari kaum wanita yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu[11].
Hal
ini dikuatkan lagi oleh perkataan Aisyah radhiallahu 'anhu "jika seorang wanita menyentuh kemaluannya,
maka hendaklah ia berwudhu[12]"
Pada asalnya wanita disamakan dengan prla dalam
masalah hukum. ini adalah madzhab asy-Syafi'i dan Ahmad, berbeda dengan madzhab
abu hanifah dan Malik.
2.
Menyentuh
kemaluan orang lain.
Jika
seorang suami menyentuh kemaluan istri atau sebaliknya jika istri menyentuh kemaluan
suaminya, maka
tidak ada dalil yang menyatakan batalnya wudhu salah satu dari keduanya.
Kecuali jika ia mengeluarkan madzi atau
mani, maka batallah wudhu nya karenanya, bukan karena menyentuhnya. Asy-Syafi'I
dan Malik berpendapat wajib berwudhu[13]
Hal ini didasarkan madzhab mereka yang mengatakan wajib berwudhu jika menyentuh
wanita. Namun akan segera disebutkan bahwa pendapat yang rajih berbeda dengan pendapat
keduanya.
Demikian
juga seorang wanita atau pria yang menyentuh kemaluan
anak
kecil atau selainnya, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhu. ini juga
merupakan pendapat Malik, az-Zuhri dan al-Auza'i[14].
3.
Dalam
masalah menyentuh kemaluan ini, disamakan orang yang keliru (tidak sengaja) dan
orang yang sengaja[15].
Ini adalah
madzhab al-Auza'i, asy-Syafi'i, lshaq dan Ahmad.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa yang membatalkan wudhu hanyalah menyentuhnya dengan
sengaja. Di antaranya adalah Makhul,
Jabir
bin Zaid, Sa'id bin Jubair, dan ini merupakan madzhab Ibnu Hazm, Mereka
berdalil dengan firman Allah Subhana Wata'ala :
وَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (5) سورة
الأحزاب
dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al-Ahzab: 5)
Namun,
pendapat yang paling jelas adalah pendapat pertama. Ibnu al-Mundzir berkata,
"Bagi siapa yang menganggap sama memegang kemaluan dengan hadats yang
mewajibkan wudhu, seharusnya ia menyamakan juga ketidak sengajaan dan
kesengajaan, seperti halnya hadats-hadats lain."
Penulis
berkata : Kekhilafan atau lupa --yang berkaitan dengan syarat dan rukun--hanyalah menghapuskan dosa, bukan hukumnya,
wallahu a’lam
4.
Menyentuh kemaluan beralaskan pakaian tidak
membatalkan -wudhu Karena ·hal
itu tidaklah disebut menyentuh, seperti telah dijelaskan. Hal ini didukung oleh
hadits marfu' dari Abu·Hurairah radhiallahu 'anhu
إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ حَتَّى لَا
يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ حِجَابٌ وَلَا سِتْرٌ فَلْيَتَوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
"Jika seseorang memegang kemaluannya
dengan tangannya tanpa pembatas ,maka hendaklah ia berwudhu[16]
·
. .
Karena dubur bukan kemaluan, dan tidak bisa
disamakan dengan kemaluan. Dan tidak bias disamakan dengan kemaluan. Tidak ada
illat yang menyamakan antara menyentuh dubur dengan kemaluan, jika ada yang mengatakan
bahwa keduanya adalah tempat keluarnya najis, maka jawabnya adalah: bukan itu
yang menjadi illat batalnya wudhu tetapi karena menyentuh kemaluan, kemudian
karena menyentuh najis tidak membatalkan wudhu, maka bagaimana pula halnya
dengan menyentuh tempat keluarnya?! Ini adalah perkataan malik, as-tsaury dan
ashabur ra’yi, berbeda dengan asy-syafi’i
Sumber : shahih fikih sunnah ( abu malik kamal
as-sayyid salim)
[1]
Al-Bada'i'
(I/30), Syarh Fath al-Qadir (I/37), al-Mudawwanah (I/8-9)
dan al-Istidzkar (I/308 dan halaman setelahnya)
[2]
Sanadnya
lunak, hadits ini riwayat Abu dawud (182); at-Tirtnidzi (85), dan an-Nasa'I (l/101
). Keshahihan hadits ini diperselisihkan. Secara zhahir, haditsnya dhaif karena
terdapat Qais bin Thalaq. Namun, Syaikh al-Albani menshahihkannya. Sesungguhnya
setiap pendapat memiliki alasan tertentu, dan karni tidak membatasi masalah yang luas.
[3] Sanadnya Dhaif, hadits ini riwayat Abu Dawud (183), Ahmad.
(VI/23.), ai-Baihaqi (I/135) dan selain mereka.
[5] Al-Istidzkar (11308),
al-Mudawwanah (1/8-9), al·Umm (111.9), al-Majmu' (1/24), alMughni
(1/178), al-Inshaf(I/202) dan al-Muhalla (1/235).
[7]
Shahih
karena banyak penguatnya, hadits ini riwayat Ibnu Majah (481), Abu Ya'la (7144), al-Baihaqi (11130), dan
lihataUrwa' (117).
[8] Di antara yang mengatakan haditsnya mansukh (dihapus)
adalah ath-Thabrani dalam al- Kabir (VIII/402), Ibnu Hibban (III/405
-Ihsan), Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (I/239), ai-Hazimi dalam al-I'tibar
(77), Ibnu al-' Arabi dalam al- 'Aridhah (I1117), dan a:lBaihaqi
dalam al-Khilafiyat (II/289).
[9]
Lihat
referensi dari madzhab Malikiyah pada buku-buku yang telah disebutkan di atas,
dan Tamam al-Minnah (hal.103). Dalam buku itu beliau menisbatkan
pendapat ini sebagai pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah, dengan mengatakan,
"sepanjang ingatanku:"
Penulis berkata: Tetapi pendapat lbnu Taimiyah
adalah pendapat yang keempat, seperti yang akan segera diketahui. Maha agung
Allah yang tidak pemah lupa.
[12] Sanadnya shahih, hadits ini ri\vayat asy-Syafi'i dalarn Musnad-nya
(90), al-Baihaqi (I/133) dan al-Hakim menshahihkan kemauqufannya (I/138).
[16] Hasan, hadits ini riwayat ad-Daruquthni (11147)
dan al-Baihaqi (11133). Lihat ashShahihah (1235);