SERI TERJEMAH KITAB MU’AMALATUL HUKKAM FII DHOU`I AL-KITAB WASSUNNAH

Minggu, 09 Desember 2012


(bagian 2)

Pendahuluan

Mendengar dan patuh kepada penguasa kaum Muslimin adalah salah satu dasar aqidah salaf. Hampir semua kitab tentang aqidah salaf menjelaskan masalah ini. Mengingat betapa penting dan betapa besar kedudukannya. Sebab, dengan mendengar dan patuh kepada mereka, kemaslahatan agama dan dunia menjadi teratur sekaligus. Sebaliknya, dengan menentang mereka, baik perkataan maupun perbuatan, mendatangkan kerusakan agama dan dunia.

Sudah diketahui secara pasti dari prinsip agama Islam bahwa tiada agama kecuali dengan jamaah, tiada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan), dan tiada imamah kecuali dengan mendengar dan patuh.'

Hal ini diriwayatkan dalam atsar dari Umar, seperti diriwayatkan ad-Darimi
dalam Sunan ad-Darimi (V69), dan juga diriwayatkan dari Abu Darda. Lihat,
Tahdzib Tarikh Dimasyq (VIY67).
يقول الحسن البصري - رحمه الله تعالي - في الأمراء :
(( هم يلون من أمورنا خمساً :
الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود.
والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم - والله - لغبطة وأن فرقتهم لكفر )) ا.هـ
Mengenai para penguasa, al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,

"Mereka adalah orang-orang yang menguasai lima urusan kita: shalat Jumat, shalat berjamaah, shalat hari raya, wilayah perbatasan dengan musuh, dan pelaksanaan hudud (hukuman yang telah ditentukan). Demi Allah, agama tidak akan lurus tanpa peranan mereka, meskipun mereka zhalim dan bertindak semena-mena. Demi Allah, kebaikan yang dimunculkan Allah subhahu wata’ala berkat jasa mereka jauh lebih banyak daripada kerusakan yang mereka perbuat.
Di samping itu, demi Allah, menaati mereka adalah suatu yang disenangi, dan menantang mereka adalah suatu yang diingkari."'
(Adab al-Hasan al-Bashri, Ibnu al-Jauzi (hal. 121). Lihat, Jami'al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab (1111 17), penerbit ar-Risalat, dan al-Jalis ash-Shalih wa al-Anis an-Nashih, as-Sabth, Ibnu al-Jauzi (hal. 207))

Saat disinggung tentang pengusa di hadapan Abu al-Aliyah,maka ia berkata, "Kebaikan yang ditimbulkan oleh Allah berkat jasamereka lebih banyak daripada kerusakan yang mereka perbuat. Al-Jalis ash-Shalih wa al-Anis an-Nashih (hal. 207))


Salafus Shalih menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini, terutama pada saat fitnah merajalela. Hal ini mengingat karenatidak mengetahuinya-atau melalaikannya-mengakibatkan kerusakan sangat komplek yang menimpa manusia dan negeri, serta menyimpang dari jalan petunjuk yang lurus,

Perhatian salaf terhadap masalah ini tercermin dalam beberapa bentuk yang telah diriwayatkan kepada kita. Saya akan menyebutkan beberapa bentuk, di antaranya:

Pertama,
memperingatkan dari memberontak pada penguasa

Contohnya, apa yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal, imam Ahlus Sunnah yang menjadi simbol Sunnah dalam berinteraksi dengan penguasa.

Pada zamannya, para penguasa mengadopsi salah satu aliran pemikiran yang buruk, memaksa masyarakat mengikuti aliran' ini dengan menggunakan kekerasan dan pedang, serta banyak darah ulama ditumpahkan karena hal itu. Umat dipaksa untuk mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Bahkan, keyakinan ini ditetapkan menjadi kurikulum di sekolah anak-anak. Dan, masih banyak lagi petaka besar lainnya. Kendati demikian, Imam Ahmad rahimahullah tidak menuruti keinginan nafsu, dan tidak terpancing perasaan atau emosi. Ia tetap tegar di atas Sunnah, karena inilah yang terbaik dan paling lurus. Ia memerintahkan agar menaati penguasa dan menyatukan rakyat atas perkara
itu. Ia berdiri tegar laksana gunung yang kokoh dalam menghadapi siapa saja yang bermaksud menyelisihi manhaj nabawi dan jalan yang ditempuh salaf, dengan menentang semua perasaan yang lepas dari ikatan al-Quran dan as-Sunnah atau aliran revolusioner yang rusak.
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله - يعني الإمام أحمد بن حنبل - رحمه الله تعالي - وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا - يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا - يعني نزع أيديهم من طاعته - صواباً، هذا خلاف الآثار
Hanbal rahimahullah mengatakan: "Fuqaha Baghdad pada zaman pemerintahan
khalifah al-Watsiq menemui Abu Abdillah, yakni Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya persoalan ini sedemikian genting dan tersiar ke mana-mana-maksud mereka ialah merajalelanya pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk dan sebagainya-dan kami tidak ridha dengan pemerintahan dan kekuasaannya." Namun, Imam Ahmad mendebat mereka
mengenai hal itu dan mengatakan, "Ingkarilah dalam hati kalian, dan jangan menarik tangan dari ketaatan. Jangan patahkan tongkat kaum Muslimin, dan jangan tumpahkan darah kalian bersama darah mereka. Pikirkan baik-baik akibat urusan kalian. Bersabarlah hingga orang berbakti memperoleh kelegaan dan dibebaskan dari pendurhaka." Imam Ahmad melanjutkan, "Ini-yakni melepaskan tangan mereka dari ketaatan kepada penguasa-tidak benar, ini menyelisihi atsar. "
(Al-Adab asy-Syar'iyyah, Ibnu Muflih (11195-196). Kisah ini dikemukakan al-
Khalal dalam as-Sunnah (hal. 133)).


Ini adalah bentuk paling mencengangkan yang diriwayatkan kepada kita yang menunjukkan betapa besarnya perhatian salaf terhadap masalah ini, dan menjelaskan secara gamblang implikasi riil dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kedua,
mendoakan kebaikan untuk penguasa

Misalnya, apa yang diterangkan dalam kitab as-Sunnah, karya Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah, ia mengatakan,
إذا رأيت الرجل يدعوا على سلطان: فاعلم أنه صاحب هوى.
وأن سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة - إن شاء الله تعالي
"Jika engkau melihat seseorang mendoakan keburukan terhadap penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu. Jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah-insya Allah."
يقول الفضيل بن عياض: لو كان لي دعوة ما جعلتها إلا في السلطان.
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, "Jika aku punya sebuah doa
yang mustajab, maka akan aku panjatkan hanya untuk penguasa."

Kita diperintah untuk mendoakan baik para penguasa yang zhalim dan suka bertindak semena-mena sekalipun, bukan sebaliknya. Sebab, akibat dari kezhaliman dan tindakan semena-mena mereka akan menimpa mereka sendiri dan kaum Muslimin. Sementara kebaikan mereka akan bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga kaum Muslimin.

( Thabaqat al-Hanabilah (IU36). Ucapan al-Fudhail bin Iyadh dikemukakan oleh
Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIIIl91-92). Lihat, Fadhilah al-Adilin Min al-
Wullah (hal. 171-172). Pembicaraan secara detail tentang masalah ini akan dikemukakan nanti. )


Ketiga,
mencari alasan untuk memahaminya

Para ulama mengatakan, jika penguasa berjasa membuat permasalahan kalian menjadi baik, pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya sebanyak mungkin. Tetapi jika ada tindakannya yang membuat kalian tidak suka, yakinilah bahwa apa yang menimpa kalian itu disebabkan oleh dosa-dosa kalian sendiri. Berilah uzur pada penguasa, karena banyak urusan yang ditanganinya, banyak hal yang diusahakannya berupa menguatkan aspek-aspek kerajaan,menundukkan musuh, menyenangkan para pendukung, sedikit penasihat, dan banyak manipulasi serta keserakahan." Dikutip dari kitab Siraj a!-Muluk, karya ath-Tharthusi. (Siraj al-Muluk (hal. 43))

Jika kita memperpanjang bentuk mencengangkan lainnya semisal ini dari Salafus Shalih, tentu pembicaraan ini akan menjadi panjang lebar dan menyita banyak halaman.

Apa yang telah kami kemukakan tadi sudah cukup untuk mengingatkan pada tujuan dan menjelaskan apa yang diharapkan.

Siapa saja yang merenungkannya dan bersikap obyektif, maka tampak jelas baginya kekeliruan orang yang bersikap terlalu ekstrim, tidak memandang para penguasa memiliki hak, dan tidak menghargai mereka sedikit pun. Ia melucuti mereka dari hak yang diwajibkan Syari' (Penetap syariat, Allah dan Rasul-Nya) untuk mereka, karena mengikuti hawa nafsu dan terpengaruh oleh aliranaliran
kaum yang selalu berpandangan minor.

Salah satu hal yang patut diketahui bahwa kaidah kaum Salafus Shalih dalam masalah ini, ialah memberikan perhatian ekstra jika memang umat membutuhkannya, guna menutup pintu fitnah,dan menutup jalan pemberontakan terhadap penguasa yang notabene adalah sumber kerusakan dunia dan agama.
Kaidah ini banyak ditulis oleh para tokoh dakwah Najd, ketika sebagian pemikiran menyimpang merasuki sejumlah orang yang menobatkan diri mereka sebagai reformis.

Para tokoh dakwah tersebut sudah seringkali menjelaskan perkara ini, dan mengulang-ulang penjelasannya agar lebih gambling serta menghilangkan berbagai syubhat yang masuk di dalarnnya.

Mereka tidak merasa cukup dengan satu pernyataan atau penjelasan satu orang dari mereka untuk urusan yang sangat penting ini, karena mereka mengetahui dampak dari kejahilan terhadapnya berupa bencana dan keburukan yang panjang.

Dalam hal ini Syaikh Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh mengatakan dengan pernyataan tegas yang dapat mengikis suatu syubhat yang mengaburkan masalah ini dan sekaligus memberikan bantahan terhadap orang-orang jahil yang menyebarkannya:

"Mereka yang terkecoh itu tidak tahu bahwa sebagian besar penguasa Islam sejak zaman khalifah Yazid bin Mu'awiyah-selain khalifah Umar bin Abdul Aziz dan siapa yang dikehendaki Allah dari Bani Umayyah-telah melakukan kelancangan, membuat peristiwa-peristiwa besar, mengadakan pemberontakan, dan kerusakan di wilayah kekuasaan kaum Muslimin.

Kendati demikian, perilaku para imam dan ulama terkemuka bersama mereka sudah dikenal lagi masyhur. Mereka tetap setia menaati syariat Islam dan
kewajiban agama yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Saya buatkan contoh untuk Anda dengan al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Di tengah umat ini, ia dikenal sebagai orang yang zhalim, kejam, melampaui batas dalam menumpahkan darah, menginjak kehormatan Allah, dan membunuh tokoh ulama, seperti Sa'id bin Jubair. Ia mengepung Ibnu az-Zubair-saat ia telah berlindung di al-Haram asy-Syarif (Mekkah-menghalalkan kesuciannya, dan
membunuh Ibnu az-Zubair. Padahal Ibnu az-Zubair telah diberi ketaatan dan telah dibaiat oleh sebagian besar penduduk Mekkah,Madinah, Yaman, dan mayoritas penduduk Irak. Sementara al-Hajjaj hanyalah wakil Marwan, kemudian putranya, Abdul Malik.( Yang dikenal bahwa al-Hajjaj hanyalah wakil dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan saja).

Padahal, sebelumnya, tidak ada seorang khalifah pun yang pemah menjadikan Marwan sebagai putra mahkota, dan ia juga tidak pernah dibaiat oleh Ah1 al-Hall wa al-'Aqd. Kendati demikian, tidak ada seorang ulama pun yang berhenti  menaati dan mematuhinya dalam perkara yang dibolehkan untuk ditaati berupa rukun Islam dan kewajibannya.

Ibnu Umar radhiallohu ‘anhu dan sahabat Rasulullah lainnya yang menjumpai
al-Hajjaj tidak menentangnya, dan mereka tidak menolak untuk mematuhinya dalam perkara yang dengannya ajaran Islam menjadi tegak dan keimanan menjadi sempuma.

Demikian pula yang dilakukan para tabi'in, seperti Sa'id bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim at-Taimimi, dan para tokoh umat yang sekurun dengan mereka.


Inilah yang terus dilakukan para tokoh terkemuka umat Islam. Mereka memerintahkan untuk menaati Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya bersama setiap penguasa, baik penguasa tersebut berbakti maupun durhaka, sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab yang membahas tentang dasar-dasar agama dan keyakinan.

Demikian pula Bani Abbas, mereka menguasai negara-negara kaum Muslimin secara paksa dengan menggunakan kekuatan senjata, tanpa ada seorang ulama pun yang mendukung mereka. Mereka membunuh banyak orang dari Bani Umayyah, termasuk pemimpin dan wakil mereka. Mereka membunuh Ibnu Hubairah, gubenur Irak, dan membunuh Khalifah Manvan. Sampai-sarnpai ada
berita yang menyebutkan bahwa as-Saffah membunuh dalam satu hari sekitar delapan puluh jiwa dari Bani Umayyah. Bahkan, ia menggelar permadani di atas bangkai mereka, duduk di atasnya,dan minta dihidangkan makanan dan minuman.

Kendati demikian, sikap para ulama yang hidup pada saat itu, seperti al-Auza'i, Malik, az-Zuhri, al-hits bin Sa'd, dan Atha' bin Abi Rabbah terhadap mereka sudah dikenal oleh kalangan yang memiliki ilmu dan wawasan."

Para ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ismail  (imam bukhori), Muhammad bin Idris (imam syafi’i) , Ahmad bin Nuh, Ishak bin Rahawaih, dan sejawat mereka.. . Pada zaman mereka para penguasa membuat bid'ah-bid'ah besar dan mengingkari sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala. Mereka diajak untuk mengikutinya, dan diuji dengannya. Bahkan, ada yang dibunuh, seperti Ahmad bin Nashr. Kendati demikian, tidak ada seorang pun di antara mereka yang menarik kepatuhan atau memandang boleh memberontak kepada mereka.
(Ad-Durar as-Saniyyahfi al-Ajwibah an-Najdiyah (VII 177- 178))

Perhatikan ucapan yang menarik ini, dan pandanglah dengan mata yang obyektif, niscaya Anda mendapati dari cahaya Salafus Shalih yang sejalan dengan al-Quran dan as-Sunnah serta kaidah-kaidah umum yang jauh dari sikap berlebihan atau melalaikan.

Pernyataan para imam dakwah cukup banyak dalam masalah ini, yang bisa Anda lihat sebagiannya di jilid ketujuh dari kitab ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-hjdiyah.

Semua ini menegaskan betapa pentingnya memperhatikan pokok aqidah ini dan menanamkannya secara mendalam ketika kebodohan terhadapnya sudah merajalela, atau ketika berbagai pemikiran yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sudah marak di mana-mana.

Tidak diragukan lagi bahwa zaman di mana kita hidup dewasa ini telah berhimpun dua perkara: kebodohan terhadap perkara ini telah mendominasi, dan pemikiran yang menyimpang mengenai hal ini telah merajelela.

Maka, kewajiban para ulama dan penuntut ilmu adalah tetap setia pada janji yang telah diambil Allah subhahu wata’ala atas mereka dalam firman-Nya:

لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
"Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.(Ali Imran: 187)

Karenanya, mereka harus menjelaskan prinsip ini pada umat, dengan mengharapkan pahala dari Allah lagi memurnikan amal mereka karena-Nya. Jangan sampai kerancuan pemikiran yang sengaja dipropagandakan sebagian kalangan yang tidak memiliki keberuntungan itu menghalangi mereka dari menjelaskan hal itu.

Seperti perkataan sebagian mereka: Siapakah yang akan mengambil  keuntungan dari penjelasan masalah ini? Menurut anggapannya, yang mengambil keuntungan darinya hanya para penguasa saja. Ini adalah kebodohan yang keterlaluan dan kesesatan yang nyata; karena motivasinya adalah keyakinan yang buruk berkenaan dengan kewajiban terhadap penguasa, baik mereka penguasa yang berbakti maupun penguasa yang durhaka.

Padahal keuntungannya untuk penguasa dan rakyat sekaligus sebagaimana sudah diketahui para ulama. Bahkan, boleh jadi, keuntungan yang didapat oleh rakyat jauh lebih banyak daripada yang didapat oleh penguasa.

Di antara syubhat juga, ialah perkataan sebagian mereka bahwa membicarakan masalah ini belum waktunya.

Subhanallah! Jika begitu, kapan waktunya? Apakah menunggu sampai kepala-kepala rakyat melayang dan darah mereka tertumpah? Atau menunggu hingga kekacauan merata di mana-mana dan rasa aman tidak ada?

Pembicaraan tentang masalah ini wajib dikemukakan para ulama dan penuntut ilmu terutama pada masa sekarang ini. Hal ini mengingat karena banyak kalangan yang telah terkontaminasi pemikirannya dalam masalah ini. Pemikiran ini dibawa oleh kelompok- kelompok kecil dari para anggota gerakan dalam, lalu mereka dengan leluasa membuat kerusakan, dan mengaburkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah yang sangat penting ini dengan melontarkan berbagai macam syubhat yang rusak dan argumen yang tidak bernilai.

Jangan tertipu oleh orang yang mengingkari keberadaan mereka dan mengatakan, "Sesungguhnya masalah baiat, mendengar dan patuh tidak diragukan oleh seorang pun." Karena ia hanya salah satu dari dua orang: Ia adalah orang yang berusaha menutupi mereka karena takut menyebutkan apa adanya, atau orang bodoh yang tidak tahu apa yang sedang menimpa masyarakat.

Hendaklah orang-orang yang suka membuat kekacauan itu bertaqwa kepada Allah subhahu wata’ala, dan berhenti dari menghalangi manusia dari jalan Allah, demi berkhidmat kepada partai mereka, menjajakan aliran mereka yang rusak dengan semisal syubhat-syubhat yang lemah ini, atau mengikuti hawa nafsu mereka dengan tanpa petunjuk dari Allah subhahu wata’ala.

Bagi siapa saja yang menginginkan dirinya selamat dan beruntung, hendaklah ia memperhatikan nash-nash syariat yang disinyalir dalam masalah ini, lalu mengarnalkannya dan tunduk kepadanya, serta tidak mengikuti keinginan nafsu. Karena seorang hamba tidak akan mencapai hakikat iman hingga keinginannya mengikuti ajaran syariat Islam yang suci.

Kebanyakan kerusakan manusia dalam masalah ini hanyalah akibat mengikuti hawa nafsu, dan mendahulukan akal daripada wahyu.

Di hadapan Anda-wahai pencari kebenaran-terdapat nashnash syariat dan nukilan-nukilan dari Salafus Shalih. Karena itu, simaklah baik-baik, dan perhatikan dengan seksama, semoga Allah menjadikan taufik dan kelurusan sebagai teman yang menyertai Anda. Semoga pula Allah subhahu wata’ala menjauhkan kita dari keinginan nafsu dan fitnah yang menyesatkan.