(bagian 2)
Pendahuluan
Mendengar dan patuh kepada
penguasa kaum Muslimin adalah salah satu dasar aqidah salaf. Hampir semua kitab
tentang aqidah salaf menjelaskan masalah ini. Mengingat betapa penting dan betapa
besar kedudukannya. Sebab, dengan mendengar dan patuh kepada mereka,
kemaslahatan agama dan dunia menjadi teratur sekaligus. Sebaliknya, dengan
menentang mereka, baik perkataan maupun perbuatan, mendatangkan kerusakan agama
dan dunia.
Sudah diketahui
secara pasti dari prinsip agama Islam bahwa tiada agama kecuali dengan jamaah,
tiada jamaah kecuali dengan imamah (kepemimpinan), dan tiada imamah kecuali
dengan mendengar dan patuh.'
Hal ini diriwayatkan dalam
atsar dari Umar, seperti diriwayatkan ad-Darimi
dalam Sunan ad-Darimi (V69),
dan juga diriwayatkan dari Abu Darda. Lihat,
Tahdzib Tarikh Dimasyq (VIY67).
يقول الحسن البصري - رحمه الله تعالي - في الأمراء
:
(( هم يلون من أمورنا خمساً :
الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود.
والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا
والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم - والله - لغبطة وأن فرقتهم
لكفر )) ا.هـ
Mengenai para penguasa,
al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
"Mereka adalah
orang-orang yang menguasai lima
urusan kita: shalat Jumat, shalat berjamaah, shalat hari raya, wilayah
perbatasan dengan musuh, dan pelaksanaan hudud (hukuman yang
telah ditentukan). Demi Allah, agama tidak akan lurus tanpa peranan mereka,
meskipun mereka zhalim dan bertindak semena-mena. Demi Allah, kebaikan yang
dimunculkan Allah subhahu wata’ala berkat jasa mereka jauh lebih banyak
daripada kerusakan yang mereka perbuat.
Di samping itu, demi
Allah, menaati mereka adalah suatu yang disenangi, dan menantang mereka adalah
suatu yang diingkari."'
(Adab al-Hasan
al-Bashri, Ibnu al-Jauzi (hal. 121). Lihat, Jami'al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu
Rajab (1111 17), penerbit ar-Risalat, dan al-Jalis ash-Shalih wa al-Anis
an-Nashih, as-Sabth, Ibnu al-Jauzi (hal. 207))
Saat disinggung tentang
pengusa di hadapan Abu al-Aliyah,maka ia berkata, "Kebaikan yang
ditimbulkan oleh Allah berkat jasamereka lebih banyak daripada kerusakan yang
mereka perbuat. Al-Jalis ash-Shalih wa al-Anis an-Nashih (hal. 207))
Salafus Shalih
menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini, terutama pada saat fitnah
merajalela. Hal ini mengingat karenatidak mengetahuinya-atau
melalaikannya-mengakibatkan kerusakan sangat komplek yang menimpa manusia dan
negeri, serta menyimpang dari jalan petunjuk yang lurus,
Perhatian salaf
terhadap masalah ini tercermin dalam beberapa bentuk yang telah diriwayatkan
kepada kita. Saya akan menyebutkan beberapa bentuk, di antaranya:
Pertama,
memperingatkan dari
memberontak pada penguasa
Contohnya, apa yang
dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal, imam Ahlus Sunnah yang menjadi simbol Sunnah
dalam berinteraksi dengan penguasa.
Pada zamannya, para penguasa mengadopsi salah satu aliran
pemikiran yang buruk, memaksa masyarakat mengikuti aliran' ini dengan
menggunakan kekerasan dan pedang, serta banyak darah ulama ditumpahkan karena
hal itu. Umat dipaksa untuk mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Bahkan, keyakinan
ini ditetapkan menjadi kurikulum di sekolah anak-anak. Dan, masih banyak lagi petaka
besar lainnya. Kendati demikian, Imam Ahmad rahimahullah tidak menuruti
keinginan nafsu, dan tidak terpancing perasaan atau emosi. Ia tetap tegar di atas
Sunnah, karena inilah yang terbaik dan paling lurus. Ia memerintahkan agar
menaati penguasa dan menyatukan rakyat atas perkara
itu. Ia berdiri tegar laksana gunung yang kokoh dalam
menghadapi siapa saja yang bermaksud menyelisihi manhaj nabawi dan jalan yang
ditempuh salaf, dengan menentang semua perasaan yang lepas dari ikatan al-Quran
dan as-Sunnah atau aliran revolusioner yang rusak.
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد
الله - يعني الإمام أحمد بن حنبل - رحمه الله تعالي - وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم
وفشا - يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم
ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين
معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا - يعني نزع أيديهم من طاعته - صواباً،
هذا خلاف الآثار
Hanbal rahimahullah
mengatakan: "Fuqaha Baghdad pada zaman pemerintahan
khalifah al-Watsiq menemui
Abu Abdillah, yakni Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengatakan kepadanya,
"Sesungguhnya persoalan ini sedemikian genting dan tersiar ke
mana-mana-maksud mereka ialah merajalelanya pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk
dan sebagainya-dan kami tidak ridha dengan pemerintahan dan kekuasaannya."
Namun, Imam Ahmad mendebat mereka
mengenai hal itu dan
mengatakan, "Ingkarilah dalam hati kalian, dan
jangan menarik tangan dari ketaatan. Jangan patahkan tongkat kaum Muslimin, dan jangan tumpahkan
darah kalian bersama darah mereka. Pikirkan baik-baik akibat
urusan kalian. Bersabarlah hingga orang berbakti memperoleh kelegaan dan
dibebaskan dari pendurhaka." Imam Ahmad melanjutkan, "Ini-yakni melepaskan
tangan mereka dari ketaatan kepada penguasa-tidak benar, ini menyelisihi atsar.
"
(Al-Adab
asy-Syar'iyyah, Ibnu Muflih
(11195-196). Kisah ini dikemukakan al-
Khalal dalam as-Sunnah
(hal. 133)).
Ini adalah bentuk paling
mencengangkan yang diriwayatkan kepada kita yang menunjukkan betapa besarnya
perhatian salaf terhadap masalah ini, dan menjelaskan secara gamblang implikasi
riil dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kedua,
mendoakan kebaikan
untuk penguasa
Misalnya, apa yang
diterangkan dalam kitab as-Sunnah, karya Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah,
ia mengatakan,
إذا رأيت الرجل يدعوا على سلطان: فاعلم أنه صاحب
هوى.
وأن سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه
صاحب سنة - إن شاء الله تعالي
"Jika engkau melihat seseorang
mendoakan keburukan terhadap penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut
hawa nafsu. Jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka
ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah-insya Allah."
يقول الفضيل بن عياض: لو كان لي دعوة ما جعلتها
إلا في السلطان.
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah
berkata, "Jika aku punya sebuah doa
yang mustajab, maka akan
aku panjatkan hanya untuk penguasa."
Kita diperintah untuk
mendoakan baik para penguasa yang zhalim dan suka bertindak semena-mena
sekalipun, bukan sebaliknya. Sebab, akibat dari kezhaliman dan tindakan
semena-mena mereka akan menimpa mereka sendiri dan kaum Muslimin. Sementara kebaikan
mereka akan bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga kaum Muslimin.
( Thabaqat al-Hanabilah
(IU36). Ucapan al-Fudhail bin Iyadh dikemukakan oleh
Abu Nu'aim dalam al-Hilyah
(VIIIl91-92). Lihat, Fadhilah al-Adilin Min al-
Wullah (hal. 171-172).
Pembicaraan secara detail tentang masalah ini akan dikemukakan nanti. )
Ketiga,
mencari alasan untuk
memahaminya
Jika kita memperpanjang
bentuk mencengangkan lainnya semisal ini dari Salafus Shalih, tentu pembicaraan
ini akan menjadi panjang lebar dan menyita banyak halaman.
Apa yang telah kami
kemukakan tadi sudah cukup untuk mengingatkan pada tujuan dan menjelaskan apa
yang diharapkan.
Siapa saja yang
merenungkannya dan bersikap obyektif, maka tampak jelas baginya kekeliruan
orang yang bersikap terlalu ekstrim, tidak memandang para penguasa memiliki
hak, dan tidak menghargai mereka sedikit pun. Ia melucuti mereka dari hak yang diwajibkan
Syari' (Penetap syariat, Allah dan Rasul-Nya) untuk mereka, karena mengikuti
hawa nafsu dan terpengaruh oleh aliranaliran
kaum yang selalu
berpandangan minor.
Salah satu hal yang patut
diketahui bahwa kaidah kaum Salafus Shalih dalam masalah ini, ialah memberikan
perhatian ekstra jika memang umat membutuhkannya, guna menutup pintu fitnah,dan
menutup jalan pemberontakan terhadap penguasa yang notabene adalah sumber
kerusakan dunia dan agama.
Kaidah ini banyak ditulis
oleh para tokoh dakwah Najd , ketika sebagian pemikiran menyimpang merasuki
sejumlah orang yang menobatkan diri mereka sebagai reformis.
Mereka tidak merasa cukup
dengan satu pernyataan atau penjelasan satu orang dari mereka untuk urusan yang
sangat penting ini, karena mereka mengetahui dampak dari kejahilan terhadapnya berupa
bencana dan keburukan yang panjang.
Dalam hal ini Syaikh Imam
Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh mengatakan dengan
pernyataan tegas yang dapat mengikis suatu syubhat yang mengaburkan masalah ini
dan sekaligus memberikan bantahan terhadap orang-orang jahil yang
menyebarkannya:
"Mereka yang terkecoh
itu tidak tahu bahwa sebagian besar penguasa Islam sejak zaman khalifah Yazid
bin Mu'awiyah-selain khalifah Umar bin Abdul Aziz dan siapa yang
dikehendaki Allah dari Bani Umayyah-telah melakukan kelancangan, membuat
peristiwa-peristiwa besar, mengadakan pemberontakan, dan kerusakan di wilayah
kekuasaan kaum Muslimin.
Kendati demikian, perilaku
para imam dan ulama terkemuka bersama mereka sudah dikenal lagi masyhur. Mereka
tetap setia menaati syariat Islam dan
kewajiban agama yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Saya buatkan contoh untuk Anda dengan al-Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi. Di tengah umat ini, ia dikenal sebagai orang yang zhalim, kejam,
melampaui batas dalam menumpahkan darah, menginjak kehormatan Allah, dan
membunuh tokoh ulama, seperti Sa'id bin Jubair. Ia mengepung Ibnu
az-Zubair-saat ia telah berlindung di al-Haram asy-Syarif (Mekkah-menghalalkan
kesuciannya, dan
membunuh Ibnu az-Zubair. Padahal Ibnu az-Zubair telah diberi
ketaatan dan telah dibaiat oleh sebagian besar penduduk Mekkah,Madinah, Yaman,
dan mayoritas penduduk Irak. Sementara al-Hajjaj hanyalah wakil Marwan,
kemudian putranya, Abdul Malik.( Yang dikenal bahwa al-Hajjaj hanyalah wakil
dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan saja).
Padahal, sebelumnya, tidak ada seorang khalifah pun yang
pemah menjadikan Marwan sebagai putra mahkota, dan ia juga tidak pernah dibaiat
oleh Ah1 al-Hall wa al-'Aqd. Kendati demikian, tidak ada seorang ulama pun yang
berhenti menaati dan mematuhinya dalam
perkara yang dibolehkan untuk ditaati berupa rukun Islam dan kewajibannya.
Ibnu Umar radhiallohu ‘anhu dan sahabat Rasulullah
lainnya yang menjumpai
al-Hajjaj tidak menentangnya, dan mereka tidak menolak untuk
mematuhinya dalam perkara yang dengannya ajaran Islam menjadi tegak dan
keimanan menjadi sempuma.
Demikian pula yang dilakukan para tabi'in, seperti Sa'id
bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim at-Taimimi, dan para
tokoh umat yang sekurun dengan mereka.
Inilah yang terus dilakukan para tokoh terkemuka umat
Islam. Mereka memerintahkan untuk menaati Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di
jalan-Nya bersama setiap penguasa, baik penguasa tersebut berbakti maupun
durhaka, sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab yang membahas tentang
dasar-dasar agama dan keyakinan.
Demikian pula Bani Abbas, mereka menguasai negara-negara kaum
Muslimin secara paksa dengan menggunakan kekuatan senjata, tanpa ada seorang
ulama pun yang mendukung mereka. Mereka membunuh banyak orang dari Bani
Umayyah, termasuk pemimpin dan wakil mereka. Mereka membunuh Ibnu Hubairah, gubenur
Irak, dan membunuh Khalifah Manvan. Sampai-sarnpai ada
berita yang menyebutkan bahwa as-Saffah membunuh dalam
satu hari sekitar delapan puluh jiwa dari Bani Umayyah. Bahkan, ia menggelar permadani
di atas bangkai mereka, duduk di atasnya,dan minta dihidangkan makanan dan
minuman.
Kendati demikian, sikap para ulama yang hidup pada saat
itu, seperti al-Auza'i, Malik, az-Zuhri, al-hits
bin Sa'd, dan Atha' bin Abi Rabbah terhadap mereka sudah dikenal
oleh kalangan yang memiliki ilmu dan wawasan."
(Ad-Durar
as-Saniyyahfi al-Ajwibah an-Najdiyah (VII 177- 178))
Perhatikan ucapan yang
menarik ini, dan pandanglah dengan mata yang obyektif, niscaya Anda mendapati
dari cahaya Salafus Shalih yang sejalan dengan al-Quran dan as-Sunnah serta
kaidah-kaidah umum yang jauh dari sikap berlebihan atau melalaikan.
Pernyataan para imam
dakwah cukup banyak dalam masalah ini, yang bisa Anda lihat sebagiannya di
jilid ketujuh dari kitab ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-hjdiyah.
Semua ini menegaskan
betapa pentingnya memperhatikan pokok aqidah ini dan menanamkannya secara
mendalam ketika kebodohan terhadapnya sudah merajalela, atau ketika berbagai
pemikiran yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sudah marak di
mana-mana.
Tidak diragukan lagi bahwa
zaman di mana kita hidup dewasa ini telah berhimpun dua perkara: kebodohan
terhadap perkara ini telah mendominasi, dan pemikiran yang menyimpang mengenai hal
ini telah merajelela.
Maka, kewajiban para ulama
dan penuntut ilmu adalah tetap setia pada janji yang telah diambil Allah subhahu
wata’ala atas mereka dalam firman-Nya:
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
"Hendaklah kamu
menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.(Ali
Imran: 187)
Karenanya, mereka harus
menjelaskan prinsip ini pada umat, dengan mengharapkan pahala dari Allah lagi
memurnikan amal mereka karena-Nya. Jangan sampai kerancuan pemikiran yang sengaja
dipropagandakan sebagian kalangan yang tidak memiliki keberuntungan itu
menghalangi mereka dari menjelaskan hal itu.
Seperti perkataan sebagian
mereka: Siapakah yang akan mengambil keuntungan
dari penjelasan masalah ini? Menurut anggapannya, yang mengambil keuntungan darinya
hanya para penguasa saja. Ini adalah kebodohan yang keterlaluan dan kesesatan
yang nyata; karena motivasinya adalah keyakinan yang buruk berkenaan dengan
kewajiban terhadap penguasa, baik mereka penguasa yang berbakti maupun penguasa
yang durhaka.
Padahal keuntungannya
untuk penguasa dan rakyat sekaligus sebagaimana sudah diketahui para ulama.
Bahkan, boleh jadi, keuntungan yang didapat oleh rakyat jauh lebih banyak
daripada yang didapat oleh penguasa.
Di antara syubhat juga,
ialah perkataan sebagian mereka bahwa membicarakan masalah ini belum waktunya.
Subhanallah! Jika begitu,
kapan waktunya? Apakah menunggu sampai kepala-kepala rakyat melayang dan darah
mereka tertumpah? Atau menunggu hingga kekacauan merata di mana-mana dan rasa
aman tidak ada?
Pembicaraan tentang
masalah ini wajib dikemukakan para ulama dan penuntut ilmu terutama pada masa
sekarang ini. Hal ini mengingat karena banyak kalangan yang telah
terkontaminasi pemikirannya dalam masalah ini. Pemikiran ini dibawa oleh
kelompok- kelompok kecil dari para anggota gerakan dalam, lalu mereka dengan
leluasa membuat kerusakan, dan mengaburkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam
masalah yang sangat penting ini dengan melontarkan berbagai macam syubhat yang
rusak dan argumen yang tidak bernilai.
Jangan tertipu oleh orang
yang mengingkari keberadaan mereka dan mengatakan, "Sesungguhnya masalah
baiat, mendengar dan patuh tidak diragukan oleh seorang pun." Karena ia
hanya salah satu dari dua orang: Ia adalah orang yang berusaha menutupi mereka
karena takut menyebutkan apa adanya, atau orang bodoh yang tidak tahu apa yang
sedang menimpa masyarakat.
Hendaklah orang-orang yang
suka membuat kekacauan itu bertaqwa kepada Allah subhahu wata’ala, dan berhenti
dari menghalangi manusia dari jalan Allah, demi berkhidmat kepada partai
mereka, menjajakan aliran mereka yang rusak dengan semisal syubhat-syubhat yang
lemah ini, atau mengikuti hawa nafsu mereka dengan tanpa petunjuk dari Allah subhahu
wata’ala.
Bagi siapa saja yang
menginginkan dirinya selamat dan beruntung, hendaklah ia memperhatikan
nash-nash syariat yang disinyalir dalam masalah ini, lalu mengarnalkannya dan
tunduk kepadanya, serta tidak mengikuti keinginan nafsu. Karena seorang hamba tidak
akan mencapai hakikat iman hingga keinginannya mengikuti ajaran syariat Islam
yang suci.
Kebanyakan kerusakan
manusia dalam masalah ini hanyalah akibat mengikuti hawa nafsu, dan
mendahulukan akal daripada wahyu.
Di hadapan Anda-wahai
pencari kebenaran-terdapat nashnash syariat dan nukilan-nukilan dari Salafus
Shalih. Karena itu, simaklah baik-baik, dan perhatikan dengan seksama, semoga
Allah menjadikan taufik dan kelurusan sebagai teman yang menyertai Anda. Semoga
pula Allah subhahu wata’ala menjauhkan kita dari keinginan nafsu dan fitnah
yang menyesatkan.