(bagian 5)
Kaidah Ketiga:
Jika Orang yang
Mengambil Alih Kekuasaan dengan Kekerasan Tidak Memenuhi Syarat-syarat Sebagai
Pemimpin, Tetapi Ia Bisa Menciptakan Stabilitas Keamanan, maka la Wajib Ditaati
dan Dilarang Ditentang
Al-Ghazali
rahimahullah berkata: "Sekiranya wara' (ketakwaan) dan ilmu tidak didapati
pada orang yang mengambil alih kekuasaankarena kekuasaan tersebut direbut oleh
orang yang tidak mengetahui hukum atau orang fasik--dan menurunkan imam seperti
itu bisa memicu api fitnah yang tidak bisa dihindarkan, maka kepemimpinannya
harus kita tetapkan.
Karena kita
dihadapkan pada masalah yang dilematis, yakni antara kita membiarkan terjadinya
fitnah yang dialami oleh kaum Muslimin akibat penggantian pemimpin yang
mudharatnya lebih besar daripada mudharat yang mereka dapatkan akibat tidak
terpenuhinya syarat-syarat ini yang ditetapkan untuk kemaslahatan yang ideal.
Pokok kemaslahatan tidak boleh ditumbangkan hanya karena menginginkan
kemaslahatan yang sempurna, seperti orang yang membangun istana dengan merobohkan
kota , atau kita membiarkan negara mengalami kevakuman
pemimpin yang risikonya justru jauh lebih besar dan lebih membahayakan.
Padahal kita
menetapkan bahwa keputusan kaum pemberontak wajib dilaksanakan di negeri mereka
karena mereka sangat membutuhkan; maka bagaimana mungkin kita tidak menetapkan keabsahan
kepemimpinan pada saat dibutuhkan dan dalam keadaan darurat. (Ihya' Ulum
ad-Din dan syarahnya, az-Zubaidi (11/233))
Asy-Syathibi rahimahullah,
dalam al-l'tisham (26 Al-i'tisham (III/44). Pendapat al-Ghazali ini juga
saya jumpai dalarn kitabFadha'ih a[-Bathiniyah (hal. 119-1 20)),mengutip
pemyataan al-Ghazali yang semakna dengannya, ketika membuat contoh mengenai al-Mashalih
al-Mursalah. Demikian pemyataannya: "Adapun jika kepemimpinan sudah
ditetapkan dengan pembaiatan, atau dengan pelimpahan kekuasaan kepada orang
yang tidak memenuhi tingkatan ijtihad, dan kekuasaan berlangsung untuknya,
serta semua orang tunduk kepadanya-karena kekosongan zaman dari sosok pemimpin
dari Quraisy yang mujtahid lagi memenuhi syarat-syaratnya-maka wajib
melangsungkan kepemimpinan yang
sah itu, jika kekuasaan
telah berlangsung.Fadha'ih al-Bathiniyah (hal. 120)
Seandainya terdapat
seorang Quraisy yang ahli ijtihad lagi memiliki sifat wara', kecakapan, dan
semua syarat kepemimpinan, sementara kaum Muslimin untuk memecat pemimpin
pertarna perlu mengobarkan fitnah dan kekacauan, maka mereka tidak boleh
memecat dan menggantinya. Sebaliknya, mereka wajib taat, menetapkan kekuasaannya
dan mengakui keabsahan kepemimpinannya.. . .
Selanjutnya, al-Ghazali
membuat permisalan yang menawan, yakni bahwa ilmu disyaratkan bagi imam untuk
mendapatkan kemaslahatan yang lebih dalam hal kebebasan melakukan penelitian dan
tidak butuh dengan taklid.
Duhai
sekiranya saudara-saudara kita yang mengaburkan manusia berkenaan dengan
masalah "tidak terpenuhinya sebagian syarat imamah" itu mau
memperhatikan ucapan ilmiah yang kuat ini dan mencermati komentar asy-Syathibi,
salah ,seorang ulama ahli ijtihad, yang mendukung dan membela ucapan tersebut.
Jika hal itu sudah
diketahui, maka buah yang diharapkan dari kepemimpinan, ialah mampu meredam
berbagai fitnah yang timbul akibat perbedaan pendapat yang tajam.
Setelah itu, al-Ghazali
mengatakan, "Bagaimana mungkin orang yang berakal membiarkan fitnah bergejolak,
ketertiban menjadi rusak, dan pokok kemaslahatan hilang seketika hanya demi menginginkan
syarat tambahan yang sangat bias untuk membedakan antara nadzar (ijtihad) dan
taklid."28
Mengomentari apa yang
dikatakan al-Ghazali tadi, asy-Syathibi mengatakan, "Apa yang dikatakannya
ini-yakni al-Ghazali terarah, berdasarkan pandangan kemaslahatan. Ini sejalan
dengan semangat syariat, meskipun tidak didukung oleh satu nash pun. Apa yang
dinyatakannya ini adalah dasar pendapat Malik.. . ."
Kemudian, asy-Syathibi
menyitir satu riwayat dari Malik bin Anas dalam masalah ini-seperti telah
dikemukakan sebelumnya dan mengatakan, "Zhahir riwayat ini, jika memecat
pemimpin yang tidak berhak dan menggantinya dengan pemimpin yang berhak dikhawatirkan
bisa menimbulkan fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan, maka yang
bermaslahat ialah tidak memecatnya."
Diriwayatkan al-Bukhari
dari Nafi', ia berkata: Ketika penduduk Madinah memecat Yazid bin Mu'awiyah
&, Ibnu Umar mengumpulkan sanak saudara dan putranya, lalu ia berkata,
"Sesungguhnya aku pemah mendengar Rasulullah bersabda:
Pada Hari Kiamat kelak
akan dikibarkan bendera untuk setiap orang yang berkhianat. ' Sesungguhnya kami
telah membaiat orang itu dengan baiat Allah dun Rasul-Nya. Sesungguhnya aku
tidak tabu salah seorang dari kalian memecatnya atau mengikuti masalah ini,
kecuali ada yang memisahkan antara aku dengan dia. "
(Shahih al-Bukhari, Kitab Fitnah-fitnah, Bab Jika Seseorang Mengatakan
Sesuatu di Hadapan Suatu Kaum, Lalu Ia Melanggar dengan Mengatakan yang
Sebaliknya (XIII168))
Ibnu al-Arabi mengatakan,
"Menurut Ibnu al-Khayyath, baiat yang dilakukan Abdullah bin Umar kepada
Yazid karena terpaksa. Di manakah Yazid bila dibandingkan dengan Ibnu Umar?
Tetapi karena ia memandang, berdasarkan agama dan ilmunya, untuk pasrah kepada
perintah Allah dan menghindarkan fitnah yang bias mengorbankan banyak harta dan
nyawa yang tidak bisa diatasi dengan mencopot Yazid. Seandainya terbukti bahwa
urusan tersebut menguntungkannya. Namun, bagaimana mungkin sedangkan hal itu
tidak diketahui?"
Ia melanjutkan, "Ini
adalah prinsip besar, maka pahamilah dan berkomitrnenlah dengannya, niscaya
kalian akan tetap berada di jalan yang benar-insya Allah." Demikian
dikatakan oleh asy-Syathibi rahimahullah dalam al-i'tisham
Al-Z'tisham (111/46-48). Pendapat yang sama oleh Ibnu al-Arabi
dalam al- Awashim min al-Qawashim (hal. 334). Lihat, pembahasan ini
dalam al-Awashim
wa al-Qawashim
adz-Dzabb 'An Sunnah Abi al-Qaszm, Ibnu
al-Wazir, Mu'assasah ar-Risalah (VIII1172). Ia mengemukakan beberapa contoh masalah ini. Diantaranya,
ialah masalah menikahi seorang wanita tanpa seizin walinya yang sedang pergi ke
tempat yang jauh atau tidak diketahui apakah ia masih hidup. Sebagian besar
ulama mengabaikan syarat persetujuan wali seperti ini demi kepentingan wanita
tersebut yang bisa menimbulkan mudharat. Lalu bagaimana dengan alasan demi
kepentingan kaum Muslimin?