SERI TERJEMAH KITAB MU’AMALATUL HUKKAM FII DHOU`I AL-KITAB WASSUNNAH

Senin, 10 Desember 2012


(bagian 5)

Kaidah Ketiga:

Jika Orang yang Mengambil Alih Kekuasaan dengan Kekerasan Tidak Memenuhi Syarat-syarat Sebagai Pemimpin, Tetapi Ia Bisa Menciptakan Stabilitas Keamanan, maka la Wajib Ditaati dan Dilarang Ditentang

Al-Ghazali rahimahullah berkata: "Sekiranya wara' (ketakwaan) dan ilmu tidak didapati pada orang yang mengambil alih kekuasaankarena kekuasaan tersebut direbut oleh orang yang tidak mengetahui hukum atau orang fasik--dan menurunkan imam seperti itu bisa memicu api fitnah yang tidak bisa dihindarkan, maka kepemimpinannya harus kita tetapkan.

Karena kita dihadapkan pada masalah yang dilematis, yakni antara kita membiarkan terjadinya fitnah yang dialami oleh kaum Muslimin akibat penggantian pemimpin yang mudharatnya lebih besar daripada mudharat yang mereka dapatkan akibat tidak terpenuhinya syarat-syarat ini yang ditetapkan untuk kemaslahatan yang ideal. Pokok kemaslahatan tidak boleh ditumbangkan hanya karena menginginkan kemaslahatan yang sempurna, seperti orang yang membangun istana dengan merobohkan kota, atau kita membiarkan negara mengalami kevakuman pemimpin yang risikonya justru jauh lebih besar dan lebih membahayakan.

Padahal kita menetapkan bahwa keputusan kaum pemberontak wajib dilaksanakan di negeri mereka karena mereka sangat membutuhkan; maka bagaimana mungkin kita tidak menetapkan keabsahan kepemimpinan pada saat dibutuhkan dan dalam keadaan darurat. (Ihya' Ulum ad-Din dan syarahnya, az-Zubaidi (11/233))

Asy-Syathibi rahimahullah, dalam al-l'tisham (26 Al-i'tisham (III/44). Pendapat al-Ghazali ini juga saya jumpai dalarn kitabFadha'ih a[-Bathiniyah (hal. 119-1 20)),mengutip pemyataan al-Ghazali yang semakna dengannya, ketika membuat contoh mengenai al-Mashalih al-Mursalah. Demikian pemyataannya: "Adapun jika kepemimpinan sudah ditetapkan dengan pembaiatan, atau dengan pelimpahan kekuasaan kepada orang yang tidak memenuhi tingkatan ijtihad, dan kekuasaan berlangsung untuknya, serta semua orang tunduk kepadanya-karena kekosongan zaman dari sosok pemimpin dari Quraisy yang mujtahid lagi memenuhi syarat-syaratnya-maka wajib melangsungkan kepemimpinan yang
sah itu, jika kekuasaan telah berlangsung.Fadha'ih al-Bathiniyah (hal. 120)


Seandainya terdapat seorang Quraisy yang ahli ijtihad lagi memiliki sifat wara', kecakapan, dan semua syarat kepemimpinan, sementara kaum Muslimin untuk memecat pemimpin pertarna perlu mengobarkan fitnah dan kekacauan, maka mereka tidak boleh memecat dan menggantinya. Sebaliknya, mereka wajib taat, menetapkan kekuasaannya dan mengakui keabsahan kepemimpinannya.. . .

Selanjutnya, al-Ghazali membuat permisalan yang menawan, yakni bahwa ilmu disyaratkan bagi imam untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih dalam hal kebebasan melakukan penelitian dan tidak butuh dengan taklid.

Duhai sekiranya saudara-saudara kita yang mengaburkan manusia berkenaan dengan masalah "tidak terpenuhinya sebagian syarat imamah" itu mau memperhatikan ucapan ilmiah yang kuat ini dan mencermati komentar asy-Syathibi, salah ,seorang ulama ahli ijtihad, yang mendukung dan membela ucapan tersebut.

Jika hal itu sudah diketahui, maka buah yang diharapkan dari kepemimpinan, ialah mampu meredam berbagai fitnah yang timbul akibat perbedaan pendapat yang tajam.

Setelah itu, al-Ghazali mengatakan, "Bagaimana mungkin orang yang berakal membiarkan fitnah bergejolak, ketertiban menjadi rusak, dan pokok kemaslahatan hilang seketika hanya demi menginginkan syarat tambahan yang sangat bias untuk membedakan antara nadzar (ijtihad) dan taklid."28

Mengomentari apa yang dikatakan al-Ghazali tadi, asy-Syathibi mengatakan, "Apa yang dikatakannya ini-yakni al-Ghazali terarah, berdasarkan pandangan kemaslahatan. Ini sejalan dengan semangat syariat, meskipun tidak didukung oleh satu nash pun. Apa yang dinyatakannya ini adalah dasar pendapat Malik.. . ."

Kemudian, asy-Syathibi menyitir satu riwayat dari Malik bin Anas dalam masalah ini-seperti telah dikemukakan sebelumnya dan mengatakan, "Zhahir riwayat ini, jika memecat pemimpin yang tidak berhak dan menggantinya dengan pemimpin yang berhak dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan, maka yang bermaslahat ialah tidak memecatnya."

Diriwayatkan al-Bukhari dari Nafi', ia berkata: Ketika penduduk Madinah memecat Yazid bin Mu'awiyah &, Ibnu Umar mengumpulkan sanak saudara dan putranya, lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku pemah mendengar Rasulullah bersabda:

Pada Hari Kiamat kelak akan dikibarkan bendera untuk setiap orang yang berkhianat. ' Sesungguhnya kami telah membaiat orang itu dengan baiat Allah dun Rasul-Nya. Sesungguhnya aku tidak tabu salah seorang dari kalian memecatnya atau mengikuti masalah ini, kecuali ada yang memisahkan antara aku dengan dia. "

(Shahih al-Bukhari, Kitab Fitnah-fitnah, Bab Jika Seseorang Mengatakan Sesuatu di Hadapan Suatu Kaum, Lalu Ia Melanggar dengan Mengatakan yang Sebaliknya (XIII168))


Ibnu al-Arabi mengatakan, "Menurut Ibnu al-Khayyath, baiat yang dilakukan Abdullah bin Umar kepada Yazid karena terpaksa. Di manakah Yazid bila dibandingkan dengan Ibnu Umar? Tetapi karena ia memandang, berdasarkan agama dan ilmunya, untuk pasrah kepada perintah Allah dan menghindarkan fitnah yang bias mengorbankan banyak harta dan nyawa yang tidak bisa diatasi dengan mencopot Yazid. Seandainya terbukti bahwa urusan tersebut menguntungkannya. Namun, bagaimana mungkin sedangkan hal itu tidak diketahui?"

Ia melanjutkan, "Ini adalah prinsip besar, maka pahamilah dan berkomitrnenlah dengannya, niscaya kalian akan tetap berada di jalan yang benar-insya Allah." Demikian dikatakan oleh asy-Syathibi rahimahullah dalam al-i'tisham


Al-Z'tisham (111/46-48). Pendapat yang sama oleh Ibnu al-Arabi dalam al- Awashim min al-Qawashim (hal. 334). Lihat, pembahasan ini dalam al-Awashim
wa al-Qawashim adz-Dzabb 'An Sunnah Abi al-Qaszm, Ibnu al-Wazir, Mu'assasah ar-Risalah (VIII1172). Ia mengemukakan beberapa contoh masalah ini. Diantaranya, ialah masalah menikahi seorang wanita tanpa seizin walinya yang sedang pergi ke tempat yang jauh atau tidak diketahui apakah ia masih hidup. Sebagian besar ulama mengabaikan syarat persetujuan wali seperti ini demi kepentingan wanita tersebut yang bisa menimbulkan mudharat. Lalu bagaimana dengan alasan demi kepentingan kaum Muslimin?