SERI TERJEMAH KITAB MU’AMALATUL HUKKAM FII DHOU`I AL-KITAB WASSUNNAH

Senin, 10 Desember 2012



(bagian 4)

Kaidah Kedua:

Siapa yang Merebut Kekuasaan dan Sudah Diminta Bertaubat, Dia adalah Imam yang Wajib Dibaiat dan Dipatuhi, serta Diharamkan Menentang dan Mendurhakainya

Imam Ahmad rahimahullah, dalam al -Aqidah yang diriwayatkan Abdus bin Malik al-Aththar darinya, mengatakan,

... ومن غلب عليهم يعني: الولاة - بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً، براً كان أو فاجر
"Siapa yang berhasil mengalahkan penguasa dengan pedang hingga menjadi khalifah dan disebut sebagai Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melewati satu malam atau berpandangan bahwa ia tidak perlu memiliki seorang imam, baik imam yang berbakti maupun imam yang zhalim."
( AI-Ahkam as-Sulthaniyah, Abu Ya'la (hal. 23), penerbit Al-Faqi. Lihat, aqidah ini secara penuh dalam ath-Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya'la (11241-246).


Imam Ahmad rahimahullah berargumen dengan atsar dari Ibnu Umar bahwa ia berkata,
... وأصلي وراء من غلب
 "...dan aku shalat di belakang orang yang mengalahkan." (Dikemukakan oleh al-Qadhi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah (hal. 23) dari riwayat al-Harits dari Ahmad.)


Diriwayatkan Ibnu Sa'd dalam ath-Thabaqat, dengan sanad bagus dari Zaid bin Aslam bahwa pada zaman di mana terjadi fitnah, tidaklah seorang pemimpin datang melainkan Ibnu Umar shalat di belakangnya dan membayar zakat hartanya kepadanya.


Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari,( Shahih al-Bukhari (XIII/193)  kitab al-Ahkam, bab Kaifa Yubayi' al-lmam an-hras (Bab Bagaimana Manusia Membaiat
Seorang Imam), dari Abdullah bin Dinar, ia berkata:
أني أقر بالسمع والطاعة لعبد الله عبد الملك أمير المؤمنين، على سنة الله وسنة رسوله ما استطعت، وان بني قد أقروا بمثل ذلك
 Aku menyaksikan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu ketika orang-orang telah sepakat atas Abdul Malik. Ia menulis: "Sesungguhnya aku menyatakan patuh dun taut kepada hamba Allah, Abdul Malik, selaku Amirul Mukminin, berdasarkan sunnah Allah dun sunnah Rasul-Nya menurut kesanggupanku. Anak-anakku juga menyaksikan seperti itu. "

Perkataannya, "Orang-orang sama berhimpun atas Abdul Malik," maksudnya Abdul Malik bin Marwan bin al-Hakam. Sedangkan yang dimaksud dengan "berhimpun" (ijtima') ialah ijtima' al-kalimah (bersatu kata), dan sebelumnya bercerai-berai.

Sebelum peristiwa itu, di muka bumi terdapat dua orang yang masing-masing disebut sebagai khalifah, yaitu: Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin az-Zubair.( Fafh al-Bari (XIII1194))

Pada waktu itu Ibnu Umar menolak membaiat Ibnu az-Zubair atau Abdul Malik. Namun, ketika Abdul Malik yang menang dan keadaan telah stabil, ia pun membaiat Abdul Malik. Apa yang dilakukan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, yaitu membaiat orang yang menang, inilah yang dianut para imam. Bahkan, ini telah
menjadi ijma' ahli fiqih.

Disebutkan dalam al-l'tisham, kaya asy-Syathibi (AI-l'tisham (II1/46), Maktabah at-Tauhid, tahqiq Syaikh Masyhur Ali Sulaiman.)

فقال:يحيى بن يحيى قيل له: البيعة مكروهة ؟ قال: لا. قيل له: فإن كانوا أئمة جور ؟ فقال : قد بايع ابن عمر لعبد الملك بن مروان ،وبالسيف أخذ الملك، أخبرني بذلك مالك عنه، أنه كتب إليه : وأقر لك بالسمع والطاعة على كتاب على كتاب الله وسنة نبيه محمد
قال يحيى بن يحيى: والبيعة خير من الفرقة
Bahwa Yahya bin Yahya pemah ditanya, "Apakah baiat itu makruh?" Ia menjawab, "Tidak." Ia ditanya, "Meskipun mereka (yang dibaiat) itu pemimpin yang zhalim?" Ia menjawab, "Ibnu Umar telah berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan yang merebut kekuasaan dengan menggunakan pedang. Demikianlah yang diceritakan oleh Malik kepadaku darinya, bahwa Ibnu Umar menulis surat
kepada Abdul Malik: Aku menyatakan kepada Anda dengan kepatuhan dan ketaatan berdasarkan Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya, Muhammad shallallohu ‘alai wasallam"
Yahya bin Yahya berkata, "Berbaiat itu lebih baik daripada berpecah-belah."

Diriwayatkan al-Baihaqi, dalam Manaqib asy-Syafi'i,( '' Manaqib asy-Syaji'i (I/448), Dar at-Turats, tahqiq Sayid Ahmad Shafar) " dari Harmalah, ia mengatakan:
سمعت الشافعي يقول : كل من غلب على الخلافة بالسيف حتى يسمي خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة انتهى
Aku mendengar asy-Syafi'i  rahimahullah mengatakan, "Setiap orang yang berhasil merebut kekhalifahan dengan menggunakan pedang hingga disebut sebagai khalifah dan manusia dipersatukan padanya, maka ia adalah khalifah."

Kesepakatan tentang hal itu telah dikemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari ('' Fath al-Bari (XIII17))" "Ahli fiqih telah sepakat atas kewajiban mematuhi penguasa yang menang dan berjihad bersamanya. Menaatinya lebih baik daripada  memeranginya, karena hal itu dapat menghentikan pertumpahan darah dan meredakan prahara."

Kesepakatan mengenai hal itu juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam muhammad bin Abdul Wahhab,
الأئمة مجموعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد - أو بلدان - له حكم الإمام في جميع الأشياء...
 "Para imam dari semua madzhab telah sepakat bahwa orang yang menguasai satu atau beberapa negeri dengan menggunakan kekerasan, maka ia berstatus sebagai imam dalam segala sesuatu.. . .( Ad-Durar as-Saniyyahji al-Ajwibah an-Najdiyah (VIV239)

Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu asy- Syaikh  mengatakan,
وأهل العلم .... متفقون على طاعة من تغلب عليهم في المعروف، يرون نفوذ أحكامه، وصحة إمامته، لا يختلف في ذلك اثنان، ويرون المنع من الخروج عليهم بالسيف وتفريق الأمة، وإن كان الأئمة فسقة ما لم يروا كفراً بواحاً ونصوصهم في ذلك موجودة عن الأئمة الأربعة وغيرهم وأمثالهم ونظرائهم
"Para ulama sepakat untuk menaati orang yang menguasai mereka dengan kekerasan dalam hal kebaikan. Menurut mereka, segala keputusannya harus dilaksanakan dan kepemimpinannya sah, tanpa diperselisihkan. Menurut mereka, dilarang memeranginya dengan pedang dan memecah belah umat,
meskipun ia pemimpin yang fasik, sepanjang ia tidak melakukan kekafiran secara terang-terangan. Pernyataan mereka mengenai hal itu dikutip dari empat imam madzhab dan para ulama lainnya (Majmu'ah ar-Risa'il wa al-Masa'il an-Najdiyah (111/1 68)