(bagian 4)
Kaidah Kedua:
Siapa yang Merebut Kekuasaan dan Sudah Diminta
Bertaubat, Dia adalah Imam yang Wajib Dibaiat dan Dipatuhi, serta Diharamkan
Menentang dan Mendurhakainya
Imam Ahmad rahimahullah, dalam al -Aqidah yang
diriwayatkan Abdus bin Malik al-Aththar darinya, mengatakan,
... ومن
غلب عليهم يعني: الولاة - بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد
يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً، براً كان أو فاجر
"Siapa yang berhasil
mengalahkan penguasa dengan pedang hingga menjadi khalifah dan disebut sebagai
Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir melewati satu malam atau berpandangan bahwa ia tidak perlu memiliki
seorang imam, baik imam yang berbakti maupun imam yang zhalim."
( AI-Ahkam
as-Sulthaniyah, Abu Ya'la (hal. 23), penerbit Al-Faqi. Lihat, aqidah ini secara
penuh dalam ath-Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya'la (11241-246).
Imam Ahmad rahimahullah
berargumen dengan atsar dari Ibnu Umar bahwa ia berkata,
... وأصلي
وراء من غلب
"...dan aku shalat di belakang orang yang
mengalahkan." (Dikemukakan oleh al-Qadhi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah
(hal. 23) dari riwayat al-Harits dari Ahmad.)
Diriwayatkan Ibnu Sa'd
dalam ath-Thabaqat, dengan sanad bagus dari Zaid bin Aslam bahwa pada zaman di
mana terjadi fitnah, tidaklah seorang pemimpin datang melainkan Ibnu Umar
shalat di belakangnya dan membayar zakat hartanya kepadanya.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari,(
Shahih al-Bukhari (XIII/193) kitab
al-Ahkam, bab Kaifa Yubayi' al-lmam an-hras (Bab Bagaimana Manusia Membaiat
Seorang Imam), dari Abdullah bin Dinar, ia berkata:
أني أقر بالسمع والطاعة لعبد الله عبد الملك أمير المؤمنين،
على سنة الله وسنة رسوله ما استطعت، وان بني قد أقروا بمثل ذلك
Aku menyaksikan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu
ketika orang-orang telah sepakat atas Abdul Malik. Ia menulis: "Sesungguhnya
aku menyatakan patuh dun taut kepada hamba Allah, Abdul Malik, selaku Amirul
Mukminin, berdasarkan sunnah Allah dun sunnah Rasul-Nya menurut kesanggupanku. Anak-anakku
juga menyaksikan seperti itu. "
Perkataannya,
"Orang-orang sama berhimpun atas Abdul Malik," maksudnya Abdul Malik
bin Marwan bin al-Hakam. Sedangkan yang dimaksud dengan "berhimpun"
(ijtima') ialah ijtima' al-kalimah (bersatu kata), dan sebelumnya
bercerai-berai.
Sebelum peristiwa itu, di
muka bumi terdapat dua orang yang masing-masing disebut sebagai khalifah,
yaitu: Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin az-Zubair.( Fafh al-Bari
(XIII1194))
Pada waktu itu Ibnu Umar
menolak membaiat Ibnu az-Zubair atau Abdul Malik. Namun, ketika Abdul Malik
yang menang dan keadaan telah stabil, ia pun membaiat Abdul Malik. Apa yang
dilakukan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, yaitu membaiat orang yang menang, inilah
yang dianut para imam. Bahkan, ini telah
menjadi ijma' ahli fiqih.
Disebutkan dalam
al-l'tisham, kaya asy-Syathibi (AI-l'tisham (II1/46), Maktabah at-Tauhid,
tahqiq Syaikh Masyhur Ali Sulaiman.)
فقال:يحيى بن يحيى قيل له: البيعة مكروهة ؟ قال:
لا. قيل له: فإن كانوا أئمة جور ؟ فقال : قد بايع ابن عمر لعبد الملك بن مروان ،وبالسيف
أخذ الملك، أخبرني بذلك مالك عنه، أنه كتب إليه : وأقر لك بالسمع والطاعة على كتاب
على كتاب الله وسنة نبيه محمد
قال يحيى بن يحيى: والبيعة خير من الفرقة
Bahwa Yahya bin Yahya
pemah ditanya, "Apakah baiat itu makruh?" Ia menjawab,
"Tidak." Ia ditanya, "Meskipun mereka (yang dibaiat) itu
pemimpin yang zhalim?" Ia menjawab, "Ibnu Umar telah berbaiat kepada
Abdul Malik bin Marwan yang merebut kekuasaan dengan menggunakan pedang.
Demikianlah yang diceritakan oleh Malik kepadaku darinya, bahwa Ibnu Umar menulis
surat
kepada Abdul Malik: Aku
menyatakan kepada Anda dengan kepatuhan dan ketaatan berdasarkan Kitab Allah
dan sunnah Nabi-Nya, Muhammad shallallohu ‘alai wasallam"
Yahya bin Yahya berkata, "Berbaiat itu lebih
baik daripada berpecah-belah."
Diriwayatkan al-Baihaqi,
dalam Manaqib asy-Syafi'i,( '' Manaqib asy-Syaji'i (I/448), Dar at-Turats,
tahqiq Sayid Ahmad Shafar) " dari Harmalah, ia mengatakan:
سمعت الشافعي يقول : كل من غلب على الخلافة بالسيف
حتى يسمي خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة انتهى
Aku mendengar asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan, "Setiap orang
yang berhasil merebut kekhalifahan dengan menggunakan pedang hingga disebut
sebagai khalifah dan manusia dipersatukan padanya, maka ia adalah
khalifah."
Kesepakatan tentang hal
itu telah dikemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari ('' Fath
al-Bari (XIII17))" "Ahli fiqih telah sepakat atas kewajiban mematuhi
penguasa yang menang dan berjihad bersamanya. Menaatinya lebih baik daripada memeranginya, karena hal itu dapat
menghentikan pertumpahan darah dan meredakan prahara."
Kesepakatan mengenai hal itu juga dikemukakan oleh
Syaikhul Islam muhammad bin Abdul Wahhab,
الأئمة مجموعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد
- أو بلدان - له حكم الإمام في جميع الأشياء...
"Para imam dari semua madzhab telah sepakat bahwa orang yang menguasai satu atau
beberapa negeri dengan menggunakan kekerasan, maka ia berstatus sebagai imam
dalam segala sesuatu.. . .( Ad-Durar as-Saniyyahji al-Ajwibah an-Najdiyah
(VIV239)
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu
asy- Syaikh mengatakan,
وأهل العلم .... متفقون على طاعة من تغلب عليهم في المعروف، يرون نفوذ أحكامه، وصحة إمامته،
لا يختلف في ذلك اثنان، ويرون المنع من الخروج عليهم بالسيف وتفريق الأمة، وإن كان
الأئمة فسقة ما لم يروا كفراً بواحاً ونصوصهم في ذلك موجودة عن الأئمة الأربعة وغيرهم
وأمثالهم ونظرائهم
"Para ulama sepakat
untuk menaati orang yang menguasai mereka dengan kekerasan dalam hal kebaikan. Menurut
mereka, segala keputusannya harus dilaksanakan dan kepemimpinannya sah, tanpa
diperselisihkan. Menurut mereka, dilarang memeranginya dengan pedang dan
memecah belah umat,
meskipun ia pemimpin yang fasik, sepanjang ia tidak
melakukan kekafiran secara terang-terangan. Pernyataan mereka mengenai hal itu
dikutip dari empat imam madzhab dan para ulama lainnya (Majmu'ah ar-Risa'il wa
al-Masa'il an-Najdiyah (111/1 68)