(bagian 6)
Kaidah Keempat:
Dalam Keadaan Darurat,
Sah Hukumnya Ada Imam Lebih dari Satu, dan Masing-masing Imam di Wilayahnya
Bertindak Sebagai Pemimpin Besar (imam a’dzom)
ومن لم يفرق بين حالي الاختيار والاضطرار، فقد جهل
المعقول والمنقول
Orang yang tidak bisa membedakan
antara situasi normal dan situasi darurat, berarti ia tidak mengerti mana dalil
logika dan mana dalil dari nash
(Al-Awashim Min
al-Qawashim (hal. 334). Lihat, pembahasan ini dalam al-Awashim wa
al-Qawashim ) ad-Dzabb 'An Sunnah Abi al-Qasim, Ibnu al-Wazir,
Mu'assasah ar-Risalah (VIIV174). Di sana telah dikemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil
naql tentang masalah ini)
Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah berkata,
الأئمة مجموعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد
- أو بلدان - له حكم الإمام في جميع الأشياء ولولا هذا ما استقامت الدنيا، لأن الناس
من زمن طويل - قبل الإمام أحمد إلي يومنا هذا - ما اجتمعوا على إمام واحد ولا يعرفون
أحداً من العلماء ذكر أن شيئاُ من الأحكام لا يصح إلا بالإمام الأعظم
"Para imam dari semua madzhab sepakat bahwa orang yang berhasil menguasai
suatu negeri atau beberapa negeri dengan menggunakan kekerasan, ia memiliki
hukum sebagai seorang imam dalam segala urusan. Seandainya bukan karena ini,
niscaya dunia tidak akan stabil. Karena manusia sejak waktu yang lamasebelum Imam
Ahmad rahimahullah hingga sekarang ini tidak pemah bersepakat atas seorang imam
saja. Mereka juga tidak mengetahui ada seorang ulama pun yang menyatakan bahwa
suatu keputusan hukum itu tidak sah kecuali ditetapkan oleh imam besar saja (Ad-Durar
as-Saniyyah) al-Ajwibah an-Najdiyah (VIV239))
Ketika menjelaskan hadits marfu'
Abu Hurairah radhiallohu ‘anhu:
من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة ومات، فميتته ميتة
جاهلية
"Barangsiapa yang
keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah lalu ia mati, maka ia mati
secara jahiliyah.”( Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Shahih Muslim, kitab al-Imarah (III/1476))
Al-'Allamah ash-Shan'ani
rahimahullah mengatakan: "Sabdanya, 'Dari ketaatan,' yakni ketaatan
kepada khalifah yang telah disepakati.
Seolah-olah yang dimaksud
ialah khalifah untuk wilayah kekuasaan yang mana pun. Sebab manusia tidak
pernah bersepakat pada seorang khalifah pun di semua negeri Islam di masa
pemerintahan Bani Abbasiyah. Bahkan, masing-masing penduduk suatu wilayah
memiliki seorang imam atau pemimpin yang mengatur urusan mereka. Sebab jika
khalifah dalam hadits ini diartikan sebagai khalifah yang disepakati oleh
seluruh umat Islam, niscaya hadits ini tidak banyak gunanya.
Sedangkan sabdanya, 'Dan
memisahkan diri dari jamaah, ialah keluar dari jamaah yang telah sepakat untuk
menaati seorang imam yang dengannya keutuhan mereka terjaga, persatuan terpelihara,dan
melindungi mereka dari musuh . " (Subul as-Salam Syarah Bulugh al-Maram
Min Adillah al-Ahkam (III/499), Jami'ah al-Imam Muhammad bin Su'ud
al-Islamiyyah)
Saat menjelaskan pendapat
penulis kitab a/-Azhar, "Tidak sah ada dua imam," asy-Syaukani rahimahullah
mengatakan, "Adapun setelah Islam tersebar ke mana-mana, wilayahnya
semakin luas, dan semakin jauh ke berbagai penjuru, maka sebagaimana diketahui bahwa
masing-masing wilayah memiliki seorang imam atau penguasa secara otonom.
Jadi, tidak ada masalah
ada imam atau penguasa lebih dari satu. Setelah dibaiat, masing-masing dari
mereka wajib ditaati oleh penduduk wilayah di mana perintah dan larangannya
berlaku di dalamnya. Demikian pula pemimpin wilayah lainnya.
Jika ada orang yang berani
menentang kekuasaannya di wilayah di mana kekuasaannya sah, dan ia telah
dibaiat penduduknya, maka hukum yang berlaku baginya ialah dibunuh, jika ia
tidak bertaubat. Sedangkan bagi penduduk di luar wilayah kekuasaannya tidak ada
kewajiban untuk menaatinya atau masuk di bawah kekuasaannya, karena jarak
wilayahnya berjauhan. Sebab, dengan alasan jaraknya yang terlalu jauh, boleh
jadi mereka tidak mendengar berita imam atau penguasa mereka, dan tidak pula
diketahui apakah imam sudah meninggal dunia atau masih hidup. Jadi. Membebankan
ketataan dalam kondisi seperti ini adalah membebani dengan suatu di luar
kesanggupan.
Inilah yang sudah
diketahui oleh setiap orang yang memiliki wawasan tentang ihwal manusia dan
negeri.. . .
Karena itu, kenalilah hal
ini, sebab ini sejalan dengan kaidah-kaidah syariat dan sesuai dengan apa yang
ditunjukkan oleh berbagai dalil. Abaikan saja pendapat yang rnenyelisihinya.
Karena perbedaan antara wilayah kekuasaan Islam pada permulaan Islam dengan
wilayah kekuasaan Islam di masa sekarang lebih jelas daripada matahari di siang
hari. Siapa yang menyangkalnya, maka ia adalah orang yang keras kepala yang
tidak perlu diberi argumen, karena ia tidak akan memahaminya. (As-Sail
al-Jarrar al-Mudaffiq ala Hada'iq al-Azhar (IVl5 12))
Itulah tiga pendapat dari ulama mujtahid umat yang
menegaskan keabsahan membaiat imam lebih dari satu dalam keadaan darurat,
berdasarkan dalil-dalil syariat, kaidah-kaidah standar, dan kemaslahatan umum.
Serupa dengan pendapat mereka ini telahdikemukakan oleh sejumlah ulama
muhaqqiq.
Di antaranya, pendapat
yang dikemukakan oleh Ibnu al-Azraq al-Maliki, qadhi al-Quds (Dalam kitabnya
Badai' as-Suluk Fi Thabai' al-Muluk (1176-77), al-Iraq, tahqiq Dr. Ali
an-Nasysyar). "Sesungguhnya syarat hanya satu imam di mana tidak boleh
ada imam selainnya bukan suatu kelaziman karena sulit tetwujud."
Ibnu Arafah
mengatakan-sebagaimana dituturkan al-Ubay darinya, "Jika domisili seorang
imam jauh sehingga tidak bisa mensosialisasikan keputusannya di sebagian
wilayah yang jauh, maka boleh hukumnya mengangkat imam lainnya di wilayah
tersebut."
Menurut Syaikh 'Alamuddin,
salah seorang ulama Mesir kontemporer,hal itu dibolehkan karena darurat."
Ibnu Katsir rahimahullah
menuturkan perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini, dan mengemukakan
pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang tidak memperbolehkannya. Setelah itu, ia
mengatakan, "Imam al-Haramain menuturkan dari Ustadz Abu Ishak bahwa ia
membolehkan mengangkat dua orang imam atau lebih, jika letak wilayah-wilayah
kekuasaan yang ada berjauhan dan sangat luas. Namun, Imam al-Haramain ragu-ragu
dalam masalah ini.
Menurut saya, inilah yang
lebih menyerupai ihwal para khalifah Dinasti Abbasiyah di Irak, Dinasti
Fatimiyah di Mesir, dan Dinasti Umawiyah di Maghrib.. . ."( 37 Tafir
Ibni Katsir (I/74), Maktabah an-Nahdhah, Makkah al-Mukarramah).
Al-Mazari rahimahullah,
dalam al-Mu'lim,mengatakan, "Mengangkat dua orang imam dalam masa yang
sama adalah tidak boleh. Sebagian ulama ushul dari generasi belakangan
mengisyaratkan, jika negeri kaum Muslimin sangat luas dan wilayah-wilayahnya
berjauhan sehingga ada sebagian wilayah yang tidak dapat menerima informasi atau
keputusan yang dikeluarkan sang imam, maka boleh hukumnya mengangkat imam
lainnya untuk wilayah tersebut."
Dengan nukilan-nukilan yang gamblang ini, maka jelaslah
apa yang dikatakan sebagian ulama muhaqqiq tentang bolehnya mengangkat imam
lebih dari satu karena kebutuhan yang mendesak.
Berdasarkan hal itu,
kedudukan imam-imam tersebut sah sebagaimana halnya imam besar saat ia ada.
Mereka menegakkan hudud (sanksi-sanksi hukum yang telah ditentukan) dan
semisalnya, mereka dipatuhi dan ditaati, serta diharamkan diperangi.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata,
والسنة أن يكون للمسلمين إمام واحد والباقون نوابه،
فإذا فرض أن الأمة خرجت عن ذلك لمعصية من بعضها، وعجز من الباقين - - فكان لها عدة
أئمة، لكان يجب على كل إمام أن يقيم الحدود، ويستوفي الحقوق ....
"Sunnahnya adalah kaum
Muslimin hanya memiliki satu imam, sementara imam lainnya adalah wakilnya.
Tapi, jika umat keluar dari ketentuan itu-karena kedurhakaan dari sebagian
mereka dan kelemahan dari sebagian lain-hingga memiliki beberapa imam, maka
tiap imam wajib melaksanakan hudud dan memenuhi hak-hak penduduknya."( Majmu'
al-Fatawa (XXXVl175-176))