SERI TERJEMAH KITAB MU’AMALATUL HUKKAM FII DHOU`I AL-KITAB WASSUNNAH

Rabu, 12 Desember 2012


(bagian 6)

Kaidah Keempat:

Dalam Keadaan Darurat, Sah Hukumnya Ada Imam Lebih dari Satu, dan Masing-masing Imam di Wilayahnya Bertindak Sebagai Pemimpin Besar (imam a’dzom)

ومن لم يفرق بين حالي الاختيار والاضطرار، فقد جهل المعقول والمنقول
Orang yang tidak bisa membedakan antara situasi normal dan situasi darurat, berarti ia tidak mengerti mana dalil logika dan mana dalil dari nash

(Al-Awashim Min al-Qawashim (hal. 334). Lihat, pembahasan ini dalam al-Awashim wa al-Qawashim ) ad-Dzabb 'An Sunnah Abi al-Qasim, Ibnu al-Wazir, Mu'assasah ar-Risalah (VIIV174). Di sana telah dikemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naql tentang masalah ini)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
الأئمة مجموعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد - أو بلدان - له حكم الإمام في جميع الأشياء ولولا هذا ما استقامت الدنيا، لأن الناس من زمن طويل - قبل الإمام أحمد إلي يومنا هذا - ما اجتمعوا على إمام واحد ولا يعرفون أحداً من العلماء ذكر أن شيئاُ من الأحكام لا يصح إلا بالإمام الأعظم
"Para imam dari semua madzhab sepakat bahwa orang yang berhasil menguasai suatu negeri atau beberapa negeri dengan menggunakan kekerasan, ia memiliki hukum sebagai seorang imam dalam segala urusan. Seandainya bukan karena ini, niscaya dunia tidak akan stabil. Karena manusia sejak waktu yang lamasebelum Imam Ahmad rahimahullah hingga sekarang ini tidak pemah bersepakat atas seorang imam saja. Mereka juga tidak mengetahui ada seorang ulama pun yang menyatakan bahwa suatu keputusan hukum itu tidak sah kecuali ditetapkan oleh imam besar saja (Ad-Durar as-Saniyyah) al-Ajwibah an-Najdiyah (VIV239))



Ketika menjelaskan hadits marfu' Abu Hurairah radhiallohu ‘anhu:
من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة ومات، فميتته ميتة جاهلية

"Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah lalu ia mati, maka ia mati secara jahiliyah.”( Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim, kitab al-Imarah (III/1476))

Al-'Allamah ash-Shan'ani rahimahullah mengatakan: "Sabdanya, 'Dari ketaatan,' yakni ketaatan kepada khalifah yang telah disepakati.

Seolah-olah yang dimaksud ialah khalifah untuk wilayah kekuasaan yang mana pun. Sebab manusia tidak pernah bersepakat pada seorang khalifah pun di semua negeri Islam di masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Bahkan, masing-masing penduduk suatu wilayah memiliki seorang imam atau pemimpin yang mengatur urusan mereka. Sebab jika khalifah dalam hadits ini diartikan sebagai khalifah yang disepakati oleh seluruh umat Islam, niscaya hadits ini tidak banyak gunanya.

Sedangkan sabdanya, 'Dan memisahkan diri dari jamaah, ialah keluar dari jamaah yang telah sepakat untuk menaati seorang imam yang dengannya keutuhan mereka terjaga, persatuan terpelihara,dan melindungi mereka dari musuh . " (Subul as-Salam Syarah Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam (III/499), Jami'ah al-Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyyah)


Saat menjelaskan pendapat penulis kitab a/-Azhar, "Tidak sah ada dua imam," asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, "Adapun setelah Islam tersebar ke mana-mana, wilayahnya semakin luas, dan semakin jauh ke berbagai penjuru, maka sebagaimana diketahui bahwa masing-masing wilayah memiliki seorang imam atau penguasa secara otonom.

Jadi, tidak ada masalah ada imam atau penguasa lebih dari satu. Setelah dibaiat, masing-masing dari mereka wajib ditaati oleh penduduk wilayah di mana perintah dan larangannya berlaku di dalamnya. Demikian pula pemimpin wilayah lainnya.

Jika ada orang yang berani menentang kekuasaannya di wilayah di mana kekuasaannya sah, dan ia telah dibaiat penduduknya, maka hukum yang berlaku baginya ialah dibunuh, jika ia tidak bertaubat. Sedangkan bagi penduduk di luar wilayah kekuasaannya tidak ada kewajiban untuk menaatinya atau masuk di bawah kekuasaannya, karena jarak wilayahnya berjauhan. Sebab, dengan alasan jaraknya yang terlalu jauh, boleh jadi mereka tidak mendengar berita imam atau penguasa mereka, dan tidak pula diketahui apakah imam sudah meninggal dunia atau masih hidup. Jadi. Membebankan ketataan dalam kondisi seperti ini adalah membebani dengan suatu di luar kesanggupan.

Inilah yang sudah diketahui oleh setiap orang yang memiliki wawasan tentang ihwal manusia dan negeri.. . .

Karena itu, kenalilah hal ini, sebab ini sejalan dengan kaidah-kaidah syariat dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh berbagai dalil. Abaikan saja pendapat yang rnenyelisihinya. Karena perbedaan antara wilayah kekuasaan Islam pada permulaan Islam dengan wilayah kekuasaan Islam di masa sekarang lebih jelas daripada matahari di siang hari. Siapa yang menyangkalnya, maka ia adalah orang yang keras kepala yang tidak perlu diberi argumen, karena ia tidak akan memahaminya. (As-Sail al-Jarrar al-Mudaffiq ala Hada'iq al-Azhar (IVl5 12))

Itulah tiga pendapat dari ulama mujtahid umat yang menegaskan keabsahan membaiat imam lebih dari satu dalam keadaan darurat, berdasarkan dalil-dalil syariat, kaidah-kaidah standar, dan kemaslahatan umum. Serupa dengan pendapat mereka ini telahdikemukakan oleh sejumlah ulama muhaqqiq.

Di antaranya, pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu al-Azraq al-Maliki, qadhi al-Quds (Dalam kitabnya Badai' as-Suluk Fi Thabai' al-Muluk (1176-77), al-Iraq, tahqiq Dr. Ali an-Nasysyar). "Sesungguhnya syarat hanya satu imam di mana tidak boleh ada imam selainnya bukan suatu kelaziman karena sulit tetwujud."

Ibnu Arafah mengatakan-sebagaimana dituturkan al-Ubay darinya, "Jika domisili seorang imam jauh sehingga tidak bisa mensosialisasikan keputusannya di sebagian wilayah yang jauh, maka boleh hukumnya mengangkat imam lainnya di wilayah tersebut."

Menurut Syaikh 'Alamuddin, salah seorang ulama Mesir kontemporer,hal itu dibolehkan karena darurat."

Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini, dan mengemukakan pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang tidak memperbolehkannya. Setelah itu, ia mengatakan, "Imam al-Haramain menuturkan dari Ustadz Abu Ishak bahwa ia membolehkan mengangkat dua orang imam atau lebih, jika letak wilayah-wilayah kekuasaan yang ada berjauhan dan sangat luas. Namun, Imam al-Haramain ragu-ragu dalam masalah ini.

Menurut saya, inilah yang lebih menyerupai ihwal para khalifah Dinasti Abbasiyah di Irak, Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan Dinasti Umawiyah di Maghrib.. . ."( 37 Tafir Ibni Katsir (I/74), Maktabah an-Nahdhah, Makkah al-Mukarramah).

Al-Mazari rahimahullah, dalam al-Mu'lim,mengatakan, "Mengangkat dua orang imam dalam masa yang sama adalah tidak boleh. Sebagian ulama ushul dari generasi belakangan mengisyaratkan, jika negeri kaum Muslimin sangat luas dan wilayah-wilayahnya berjauhan sehingga ada sebagian wilayah yang tidak dapat menerima informasi atau keputusan yang dikeluarkan sang imam, maka boleh hukumnya mengangkat imam lainnya untuk wilayah tersebut."

Dengan nukilan-nukilan yang gamblang ini, maka jelaslah apa yang dikatakan sebagian ulama muhaqqiq tentang bolehnya mengangkat imam lebih dari satu karena kebutuhan yang mendesak.

Berdasarkan hal itu, kedudukan imam-imam tersebut sah sebagaimana halnya imam besar saat ia ada. Mereka menegakkan hudud (sanksi-sanksi hukum yang telah ditentukan) dan semisalnya, mereka dipatuhi dan ditaati, serta diharamkan diperangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
والسنة أن يكون للمسلمين إمام واحد والباقون نوابه، فإذا فرض أن الأمة خرجت عن ذلك لمعصية من بعضها، وعجز من الباقين - - فكان لها عدة أئمة، لكان يجب على كل إمام أن يقيم الحدود، ويستوفي الحقوق ....
"Sunnahnya adalah kaum Muslimin hanya memiliki satu imam, sementara imam lainnya adalah wakilnya. Tapi, jika umat keluar dari ketentuan itu-karena kedurhakaan dari sebagian mereka dan kelemahan dari sebagian lain-hingga memiliki beberapa imam, maka tiap imam wajib melaksanakan hudud dan memenuhi hak-hak penduduknya."( Majmu' al-Fatawa (XXXVl175-176))