prinsip-prinsip Ahlussunnah wal ]amaah tentang persoalan yang diperselisihkan

Senin, 07 Oktober 2013



Tanya : Bagaimana prinsip-prinsip Ahlussunnah wal ]amaah tentang persoalan yang diperselisihkan?

Bagaimana standar untuk menyikapi persoalan ini?

Jawab :

Prinsip Ahlussunnah wal Jamaah mengenai persoalan yang diperselisihkan adalah bila perselisihan itu bersumber dari ijtihad, dan persoalannya menyangkut hal yang dibolehkan berijtihad, maka sebagian dari mereka bersikap toleran terhadap sebagian lain yang berbeda pendapat. Mereka tidak menjadikan perselisihan ini sebagai alasan untuk berpecah belah dan bermusuhan. ORANG YANG MEMUSUHI SAYA KARENA TUNTUTAN DALIL, MAKA PADA HAKIKATNYA IA TIDAK MENYELISIHI SAYA. KARENA MANHAJ YANG DIGUNAKAN SAMA, APAKAH SAYA MENYELISIHINYA KARENA TUNTUTAN DALIL ATAUKAH DIA MENYELISIHI SAYA KARENA TUNTUTAN DALIL.  JADI, KITA SAMA. Perselisihan pendapat ini masih terus terjadi sejak zaman Rosululloh Shollallahu ‘alaihi wasallam  hingga hari ini.

ADAPUN PERSOALAN YANG TIDAK BOLEH DIPERSELISIHKAN adalah hal-hal yang menyelisihi pandangan para sahabat dan tabi'in. Persoalan-persoalan akidah yang sebagian manusia tersesat darinya, dan tidak terjadi  perselisihan mengenainya kecuali setelah berlalunya generasi-generasi utama, yakni perselisihan itu tidak tersebar luas kecuali sesudah generasi sahabat. Tetapi, perlu diketahui, bila saya mengatakan sesudah generasi sahabat, bukan berarti semua sahabat harus sudah wafat. Kita menyebut generasinselama kebanyakan generasi itu masih hidup. Karena kalian mengetahui, bahwa Alloh Ta’ala telah menjadikan ajal manusia itu susul menyusul. Misalnya bila kita mengatakan, 'sesungguhnya generasi sahabat tidak berakhir sehingga tidak ada seorang sahabat pun yang hid up', berarti kita telah menyeberangi banyak masa tabi'in.

 Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Suatu generasi dinilai telah lewat apabila kebanyakan orang yang menjadi bagian generasi itu telah lewat." Misalnya, bila kebanyakan sahabat telah wafat, sehingga yang tinggal hanya puluhan atau ratusan sahabat saja, maka berarti zaman mereka telah berakhir. Demikian pula masa para tabi'in. Juga tabi'ut tabi'in, hingga zaman sekarang.

Jadi, generasi-generasi utama telah lewat, tanpa ada perselisihan tentang akidah sebagaimana yang ban yak terjadi akhir-akhir ini. Orang-orang yang menyelisihi kita dalam persoalan akidah, maka mereka itu menyelisihi paham akidah para sahabat dan tabi'in. Mereka itu harus diingkari dan perselisihan mereka tidak bisa diterima.

ADAPUN DALAM PERSOALAN-PERSOALAN YANG MEMANG TELAH DIPERSELISIHKAN SEJAK ZAMAN SAHABAT, dan dalam persoalan tersebut dibolehkan ijtihad, maka perselisihan semacam ini pasti tetap ada. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر  * رواه مسلم

'Jika seorang hakim nemutuskan hukum, lantas ia berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Tapi apabila ia berijtihad, lantas kefiru, maka ia mendapat satu pahala."

Inilah standarnya.
Jika ada orang mengatakan, "Apakah perselisihan menyangkut sifat-sifat Alloh Ta’ala itu termasuk perselisihan yang dibolehkan?" Saya jawab, 'tidak'. Karena perselisihan ini sudah berada di luar manhaj para sahabat. Para sahabat tidak ada yang memperselisihkan persoalan sifat-sifat Alloh.

Semua mengakui bahwa sifat Alloh itu benar adanya sesuai dengan hakikatnya, tanpa menyerupakan sifat-sifat itu. Bukti bahwa mereka mengakui hal itu adalah tidak adanya riwayat yang menceritakan adanya perselisihan di antara mereka mengenai penafsiran ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbicara tentang sifat-sifat Alloh. Jika tidak terdapat riwayat yang menceritakan perselisihan mereka mengenai penafsiran ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut, maka ini berarti mereka meyakininya, karena Al-Quran menggunakan bahasa Arab dan As-Sunnah juga berbahasa Arab, sedangkan para sahabat memahami bahasa Arab.

Jika tidak ada riwayat yang menceritakan dari mereka bahwa mereka menyelisihi zhohir makna ayat atau hadits, maka kita tabu bahwa mereka meyakini zhohir ayat dan hadits tersebut. Karena itu, kita mengingkari siapa saja yang memiliki pendapat yang bertentangan dengan madzhab para salaf dalam persoalan sifat-sifat Alloh. Atau, katakanlah dalam seluruh persoalan iman. Iman kepada Alloh, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk. Setiap orang yang menyelisihi manhaj para sahabat dalam keenam persoalan ini, maka kita akan  mengingkarinya dan tidak menerimanya.

Perselisihan pendapat akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan yang diperselisihkan itu telah dikaji secara mendalam.


الى متى هذا الخلاف – لفضيلة الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله