MENDUDUKKAN MASALAH "IJTIHAD IMAM"

Selasa, 17 November 2009

Ijtihad adalah masalah yang sangat besar, karena merupakan pengkhabaran tentang hukum Allah. Kesalahan ijtihad akan menyebabkan kesesatan orang yang mengambil ijtihad tersebut, karena itulah tidak boleh seorang pun melakukan ijtihad kecuali jika terkumpul padanya kemampuan ilmiah untuk berijtihad

Bagaimana seorang mujtahid mengkhabarkan syariat dari Allah, ia juga bisa menjerumuskan manusia kepada bahaya dan kesesatan jika tidak berhati-hati dalam ijtihadnya atau memaksakan diri berijtihad padahal ia belum mampu. Karena ia bisa menghalalkan darah yang haram, menghalalkan harta yang haram dan lain-lain, atau sebaliknya.

Bahkan begitu banyak fitnah yang menimpa umat ini disebabkan ijtihad dan fatwa dari orang-orang yang memaksakan diri berijtihad padahal belum mampu, di antara yang mendorong mereka melakukan itu, karena posisinya sebagai pimpinan kelompok agama atau jama'ah-jama'ah Islamyah.

Ikhwany Fiddin, di kalangan Jama'ah354 sudah terbiasa kita dengar kata-kata sakti "ijtihad Imam" yang selalu digunakan sebagai stempel untuk membenarkan semua perintah Amir yang diklaim secara umum tidak tercantum di dalam Al-qur'an dan As-sunnah dan dianggap tidak bertentangan Al-qur'an dan As-sunnah.

Sebagai pengatar ijtihadnya adalah sebagai berikut:

"Nasihat Ijtihad Imam kepada Jama'ah satu-satunya Jama'ah supaya ( artinya : wajib dikerjakan)…………." lalu dilanjutkan dengan kalimat-kalimat perintah.

Apakah Imam yang berijtihad ini dapat dikatakan sebagai seorang mujtahid? Jawabnya kita dengan mudah akan dapat mengetahui nilai ijtihad-ijtidad tersebut dengan melihat produk-produk ijtihad yang dikeluarkan oleh sang imam tersebut.

Lalu bagaimanakah sebenarnya IJTIHAD itu? Mari kita simak Kitab Al-ushul min Ilmi Al-ushul karya Sayikh Muhammad bin sholih Al-utsaimin – Rohiahullah –

الاجتهاد

IJTIHAD

الاجتهاد لغة: بذل الجهد لإدراك أمر شاق.

Ijtihad secara bahasa :

"Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang

berat."

واصطلاحاً: بذل الجهد لإدراك حكم شرعي.

Secara istilah :

"Mengerahkan kesungguhan untuk mengetahui suatu hukum syar'i."

والمجتهد: من بذل جهده لذلك.

Mujtahid :

"Orang yang mengerahkan kesungguhannya untuk hal tersebut."

شروط الاجتـهاد:

1- أن يعلم من الأدلة الشرعية ما يحتاج إليه في اجتهاده كآيات الأحكام وأحاديثها.

2- أن يعرف ما يتعلق بصحة الحديث وضعفه؛ كمعرفة الإسناد ورجاله، وغير ذلك.

3- أن يعرف الناسخ والمنسوخ ومواقع الإجماع حتى لا يحكم بمنسوخ أو مخالف للإجماع

4- أن يعرف من الأدلة ما يختلف به الحكم من تخصيص، أو تقييد، أو نحوه حتى لا يحكم بما يخالف ذلك.

5- أن يعرف من اللغة وأصول الفقه ما يتعلق بدلالات الألفاظ؛ كالعام والخاص والمطلق والمقيد والمجمل والمبين، ونحو ذلك؛ ليحكم بما تقتضيه تلك الدلالات.

6- أن يكون عنده قدرة يتمكن بها من استنباط الأحكام من أدلتها.

والاجتهاد قد يتجزأ فيكون في باب واحد من أبواب العلم، أو في مسألة من مسائله.

Syarat-syarat Ijtihad:

Ijtihad memiliki syarat-syarat, di antaranya :

1. Ia mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya, seperti ayat-ayat hukum dan hadits - haditsnya.

2. Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan keshohihan hadits dan kedho'ifannya, seperti mengetahui sanad-sanadnya dan para perowinya dan lain-lain.

3. Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat terjadinya ijma', sehingga ia tidak menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh atau menyelisihi ijma'.

4. Ia mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan hukumnya dari pengkhususan, atau taqyid, atau yang semisalnya, sehingga ia tidak menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut.

5. Ia mengetahui bahasa ('Arab, pent), dan ushul fiqih yang berhubungan dengan penunjukkan-penunjukkan lafadz, seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal itu, sehingga ia menghukumi dengan apa yang menjadi konsekuensi penunjukan- penunjukan tersebut.

6. Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam menggali hukum-hukum (beristimbath)

dari dalil-dalilnya.

Dan ijtihad terkadang terbagi-bagi, terkadang pada satu bab dari bab-bab

ilmu, atau pada satu permasalahan dari masalah-masalahnya.

ما يلزم المجتهد:

يلزم المجتهد أن يبذل جهده في معرفة الحق، ثم يحكم بما ظهر له فإن أصاب فله أجران:

أجر على اجتهاده، وأجر على إصابة الحق؛ لأن في إصابة الحق إظهاراً له وعملاً به، وإن أخطأ فله أجر واحد، والخطأ مغفور له؛ لقوله صلّى الله عليه وسلّم: "إذا حكم الحاكم فاجتهد، ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد، ثم أخطأ فله أجر" .

وإن لم يظهر له الحكم وجب عليه التوقف، وجاز التقليد حينئذٍ للضرورة.

YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG MUJTAHID:

Seorang mujtahid harus mengerahkan kesungguhannya dalam mencari yang benar, kemudian menghukumi dengan apa yang nampak baginya, jika ia benar maka ia akan mendapat 2 ganjaran; ganjaran atas ijtihadnya dan ganjaran atas mendapatkan yang benar, karena dalam mendapatkan

kebenaran berarti ia telah menampakkan yang benar dan mengamalkannya. Dan jika ia salah maka ia mendapat satu ganjaran dan kesalahannya diampuni, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ* رواه البخارى

"Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua ganjaran. Dan jika ia menghukumi dan berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu ganjaran."

Dan jika hukum tersebut belum nampak baginya, maka ia wajib untuk tawaqquf dan boleh baginya untuk bertaqlid ketika itu karena darurat.

***

الأصول من علم الأصول- شرح فضيلة الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله

Sabda Rosulullah J :

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ* رواه أبو داود و الترمذى و ابن ماجه قال الشيخ الألباني : ( صحيح )

Hakim ada tiga macam, satu masuk ke surga yang dua di neraka, adapun yang masuk surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran kemudian menghukumi dengan kebenaran tersebut. Kemudian seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran namun ia durhaka (ia mengetahui kebenaran tetapi condong pada kebathilan) di dalam hukumnya, maka ia masuk neraka. Dan seorang laki-laki yang menghukumi manusia dengan kebodohan (ia tidak memiliki ilmu) maka ia masuk neraka. HR. Abu dawud, at-tirmidzi, ibnu majah. Tahqiq Syaikh Al-albany : shohih

وَالْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْجُو مِنْ النَّار مِنْ الْقُضَاة إِلَّا مَنْ عَرَفَ الْحَقّ وَعَمِلَ بِهِ ، وَالْعُمْدَة الْعَمَل ، فَإِنَّ مَنْ عَرَفَ الْحَقّ وَلَمْ يَعْمَل فَهُوَ وَمَنْ حَكَمَ بِجَهْلٍ سَوَاءٌ فِي النَّار ، وَظَاهِره أَنَّ مَنْ حَكَمَ بِجَهْلٍ وَإِنْ وَافَقَ حُكْمُهُ الْحَقَّ فَإِنَّهُ فِي النَّار لِأَنَّهُ أَطْلَقَهُ وَقَالَ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْل فَإِنَّهُ يَصْدُق عَلَى مَنْ وَافَقَ الْحَقّ وَهُوَ جَاهِل فِي قَضَائِهِ أَنَّهُ قَضَى عَلَى جَهْل ، وَفِيهِ التَّحْذِير مِنْ الْحُكْم بِجَهْلٍ أَوْ بِخِلَافِ الْحَقّ مَعَ مَعْرِفَته بِهِ قَالَ الْخَطِيب الشِّرْبِينِيّ : وَالْقَاضِي الَّذِي يَنْفُذ حُكْمه هُوَ الْأَوَّل ، وَالثَّانِي وَالثَّالِث لَا اِعْتِبَار بِحُكْمِهِمَا اِنْتَهَى . عون المعبود شرح سنن أبي داود 8/72

Dan hadits ini adalah dalil bahwa Hakim tidak akan selamat dari api neraka kecuali orang yang mengetahui kebenaran kemudian ia merealisasikannya, berusaha mengepaskan / mencocoki amal, maka sesungguhnya barang siapa yang mengetahui kebenaran tetapi tidak merealisasikannya, maka ia dan orang yang menghukumi dengan kebodohan sama-sama di neraka, Dan jelasnya sesungguhnya orang yang menghukumi dengan kebodohan ( tidak memiliki ilmu ) namun hukumnya mencocoki kebenaran, maka ia tetaplah orang yang bodoh di dalam hukumnya karena telah menghukumi dengan kebodohan, dan hadits ini mengandung peringatan keras menghukumi dengan kebodohan ataupun menyelisihi kebenaran yang diketahuinya.

Alkhotib As-syirbiny berkata : " Seorang hakim yang menunaikan hukumnya dia termasuk orang yang awal ( hakim yang masuk surga ), adapun hakim yang kedua dan yang ketiga maka hukum keduanya tidak dianggap, sekian