Di antara
yang memperkuat akan pentingnya kajian terhadap ini adalah, bahwasanya sikap kebanyakan kaum Muslimin
terhadap hal-hal yang membatalkan Iman ini, tidak terlepas antara sikap ekstrim
dan acuh tak acuh. Ada yang
berlebih-lebihan dan keras, sampai dia memasukkan sesuatu yang bukan pembatal
se bagai pembatal. Sebaliknya di antara mereka ada orang-orang yang meremehkan
(acuh tak acuh) pembatal-pembatal ini, menjadikan- nya sebagai sekedar
perkara-perkara haram yang tidak mengeluarkan dari Islam.
Dan Allah
ta’ala membimbing Ahlus Sunnah kepada kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan
dengan izin-Nya, sehingga mereka menetapkan masalah ini dengan dasar ilmu dan
keadilan.
Mereka
bersikap tengah di antara orang-orang yang ekstrim (ghuluw) dan orang-orang Mu
rji'ah (orang-orang yang meremehkan).
Salah satu
aib ahli bid'ah adalah bahwa sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, dan di antara sikap
terpuji ahli ilmu adalah mereka menyalahkan dan tidak mengkafirkan.( Lihat Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, ibnu Taimiyah, 5/251)
|
Peletak
syariat telah memperingatkan bahaya mengkafirkan seorang Muslim padahal dia
tidak demikian.
Allah ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى
إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ
اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(94)
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, Maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan
"salam" kepadamu "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu
Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa': 94).
Dari Abu
Dzar rodhiallohu ‘anhu bahwa dia mendengar Nabi shollallohu ‘alai wasallam
bersabda,
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا
بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ
يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ* صحيح البخاري
" Tidaklah seseorang menuding
seseorang lainnya dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali hal itu kembali
kepada dirinya jika rekannya tidak demikian adanya. " HR al-Bukhari
Dari
Abdullah bin Umar rodhiallohu ‘anhu Rasulullah shollallohu ‘alai wasallam
bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
" Siapa pun yang berkata kepada
saudaranya, ' Wahai kafir', maka (hukum kafir itu) pasti kembali kepada salah
seorang dari mereka berdua.
Ibnu Daqiq
al-Id menjelaskan makna hadits ini dengan mengatakan,
"Ini
adalah ancaman yang berat bagi siapa yang mengkafirkan kaum Muslimin padahal
tidak demikian. Dan ini adalah kekeliruan besar, yang mana banyak ahli kalam
terjerumus ke dalamnya, bahkan sebagan orang-orang yang menisbatkan diri kepada
sunnah dan ahli hadits, ketika mereka berselisih dalam masalah-masalah akidah. Mereka bersikap keras
terhadap orang-orang yang menyelisihi mereka dan memvonis mereka kafir."(
Ihkam al-Ahkam Syarah Umdah al-Ahkam, Ibnu Daqiq al-Id, 4/76)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menegaskan hal itu dengan mengatakan, "Sesungguhnya
aku termasuk orang yang paling keras melarang menisbatkan orang tertentu kepada
kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, kecuali jlka diketahui bahwa hujjah
risalah telah tegak atasnya, di mana barangsiapa menyelisihinya maka dia bisa kafir,
atau fasik, atau sebagai pelaku maksiat. Sesungguhnya aku menetapkan bahwa
Allah mengampuni kesalahan umat ini, dan itu mencakup kesalahan dalam
masalah-masalah khabariyah qauliyah dan masalah-masalah amaliyah." (Majmu'
Al-Fatawa, 3/229. Lihat pula Majmu' al-Fatawa, 3/282-283; Qaidah Fi Ahli
asSunnah, 3/103.)
Ketika Ibnul
Wazir menetapkan mutawatirnya hadits-hadits tentang larangan mengkaflrkan seorang Muslim(Lihat Itsar al-Haq
ala al-Khalq, hal. 420-425.)
Dia rohimahullah
berkata, "Semua itu mengandung kesaksian terhadap ancaman keras dalam masalah
mengkafirkan seorang Mukmin dan mengeluarkannya dari Islam, padahal Mukmin
tersebut mengakui tauhid dan kenabian, lebih-lebih dia melaksanakan rukun-rukun
Islam, menjauhi dosa-dosa besar, dan terlihatnya bukti-bukti kebenaran pada
dirinya dalam pembenarannya, dan hanya karena kekeliruan dalam bid'ah bersangkutan,
bisa jadi orang yang menjadi sebab dia dikafirkan tersebut, jarang orang yang
terhindar darinya, atau bahkan yang lebih ringan darinya, karena predikat
ma'shum (terpelihara dari kesalahan dan dosa) adalah derajat yang tinggi, dan
dugaan baik seseorang terhadap dirinya tidak mengotomatiskannya selamat dari
itu, baik secara akal maupun syara'. (Lihat Itsar al-Haq ala al-Khalq, Ibnul
Wazir, hal. 425426.)
Lanjut Ibnul
Wazir, "Khawarij telah dihukum dengan hukuman paling berat dan dicela
dengan celaan paling buruk karena mereka mengkafirkan orang-orang yang
melakukan dosa (besar) dari kaum Muslimin, meskipun mereka memandang beratnya kemaksiatan kepada Allah
dan pengagungan mereka kepada Allah dengan mengkafirkan orang yang
mendurhakaiNya, karena orang
yang
mengkafirkan tidak dijamin tidak terjerumus ke dalam dosa seperti dosa mereka.
Ini adalah bahaya besar dalam Agama, hendaknya orang yang bijak dan mulia
berhati-hati." (Lihat Itsar al-Haq ala al-Khalq, Ibnul Wazir, hal.
425426.)
Imam
asy-Syaukani juga memperingatkan ketergesa-gesaan dalam mengkafirkan. Kata
beliau, "Ketahuilah, bahwa memvonis seorang Muslim keluar dari Agama dan
masuk ke dalam kekufuran, tidak patut dilakukan oleh seorang Mukmin yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, kecuali dengan bukti yang lebih jelas
daripada matahari di siang bolong, karena telah diriwayatkan di dalam hadits-hadits
yang shahih dari sejumlah sahabat bahwa barangsiapa berkata kepada saudaranya,
'Hai kafir', maka (hukum kafir itu) kembali kepada salah satu di antara
keduanya." (As-Sail al-Jarrar al-Mutadafiq ala Hada 'iq al-Azhar,
asy-syaukany, 4/578.)
Pada saat
para ulama besar tersebut menetapkan bahayanya masalah ini dan peringatan
terhadap mengkafirkan orang yang bukan kafir, tidak berarti masalah ini kemudian
dapat diremehkan dan menutup pintu riddah sama sekali dengan memvonis Islam orang
yang jelas kekufurannya dengan dalil dan bukti. Jalan kedua ini tidak kalah
bahaya dan penyirnpangannya daripada jalan pertama.
Keduanya
tercela. Sebagian orang telah keliru, mereka hendak membantah orang-orang yang
berlebih-lebihan tersebut dengan mengambil metode golongan Murji'ah, padahal
yang wajib adalah menghindari cara membantah bid'ah dengan bid'ah, kebatilan
tidak dihadapi dengan kebatilan. Masalah ini harus dijelaskan dengan dasar ilmu
dan keadilan. DAN AHLUS SUNNAH (ADALAH ORANG-ORANG YANG) MENGETAHUI KEBENARAN
DAN MENGASIHI MANUSIA.
Abul Ma'ali
al-Juwaini pernah ditanya tentang memvonis kafir golongan Khawarij, maka dia
menolak, karena memasukkan orang kafir ke dalam Agama dan mengeluarkan seorang
Muslim darinya adalah perkara besar dalam Agama ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
(Dia ialah:
Abdul Malik bin Imam Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini an- Naisaburi,
seorang imam yang masyhur, ahli kalam dan ahli ushul, lahir tahun 419 H,
memiliki beberapa karya tulis, menyibukkan diri dengan ilmu kalam, kemudian
bertaubat darinya, dan wafat 478 H. Lihat Thabaqat asy-Syafi'iyah, 5/165,
Siyar A'lam an-Nubala', 18/468.)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syaikh
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, "Prinsipnya adalah, wajib
atas orang yang menasihati dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini
kecuali dengan dasar ilmu dan bukti dari Allah. Hendaknya dia berhati-hati dari
mengeluarkan seseorang dari Islam hanya dengan pijakan pemahamannya dan anggapan
baik oleh akalnya, karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau sebaliknya,
termasuk di antara masalah paling besar dalam Agama. Setan telah menipu banyak
orang dalam masalah ini, sebagian kalangan bersikap meremehkan, mereka memvonis
Islam orang-orang di mana nash-nash al-Qur'an, sunnah dan ijma' menunjukkan
kekufurannya, sementara kalangan yang lain bersikap melampaui batas, mereka
mengkafirkan orang-orang di mana nashnash al-Qur'an, sunnah dan ijma'
menetapkan keislamannya." (Ad-Durar asSaniyyah, 8/218. Lihat
Risalah al-Kufru al-Ludzi Yu'dzam Shohibuhu bi al-jahli, karya Abdullah
bin Abduirahman Abu Bathin, hal. 21)