SIKAP TENGAH AHIUS SUNNAH DALAM MENYIKAPI HAL-HAL YANG MEMBATALKAN IMAN.

Senin, 26 November 2012


 
Di antara yang memperkuat akan pentingnya kajian terhadap ini adalah, bahwasanya sikap kebanyakan kaum Muslimin terhadap hal-hal yang membatalkan Iman ini, tidak terlepas antara sikap ekstrim dan acuh tak acuh. Ada yang berlebih-lebihan dan keras, sampai dia memasukkan sesuatu yang bukan pembatal se bagai pembatal. Sebaliknya di antara mereka ada orang-orang yang meremehkan (acuh tak acuh) pembatal-pembatal ini, menjadikan- nya sebagai sekedar perkara-perkara haram yang tidak mengeluarkan dari Islam.

Dan Allah ta’ala membimbing Ahlus Sunnah kepada kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan dengan izin-Nya, sehingga mereka menetapkan masalah ini dengan dasar ilmu dan keadilan.

Mereka bersikap tengah di antara orang-orang yang ekstrim (ghuluw) dan orang-orang Mu rji'ah (orang-orang yang meremehkan).

Salah satu aib ahli bid'ah adalah bahwa sebagian mereka mengkafirkan  sebagian yang lain, dan di antara sikap terpuji ahli ilmu adalah mereka menyalahkan dan tidak mengkafirkan.( Lihat Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, ibnu Taimiyah, 5/251)

Peletak syariat telah memperingatkan bahaya mengkafirkan seorang Muslim padahal dia tidak demikian.
Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (94)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, Maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa': 94).

Dari Abu Dzar rodhiallohu ‘anhu bahwa dia mendengar Nabi shollallohu ‘alai wasallam bersabda,
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ* صحيح البخاري
" Tidaklah seseorang menuding seseorang lainnya dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali hal itu kembali kepada dirinya jika rekannya tidak demikian adanya. " HR al-Bukhari

Dari Abdullah bin Umar rodhiallohu ‘anhu Rasulullah shollallohu ‘alai wasallam bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
" Siapa pun yang berkata kepada saudaranya, ' Wahai kafir', maka (hukum kafir itu) pasti kembali kepada salah seorang dari mereka berdua.

Ibnu Daqiq al-Id menjelaskan makna hadits ini dengan mengatakan,
"Ini adalah ancaman yang berat bagi siapa yang mengkafirkan kaum Muslimin padahal tidak demikian. Dan ini adalah kekeliruan besar, yang mana banyak ahli kalam terjerumus ke dalamnya, bahkan sebagan orang-orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan ahli hadits, ketika mereka berselisih dalam  masalah-masalah akidah. Mereka bersikap keras terhadap orang-orang yang menyelisihi mereka dan memvonis mereka kafir."( Ihkam al-Ahkam Syarah Umdah al-Ahkam, Ibnu Daqiq al-Id, 4/76)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan hal itu dengan mengatakan, "Sesungguhnya aku termasuk orang yang paling keras melarang menisbatkan orang tertentu kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, kecuali jlka diketahui bahwa hujjah risalah telah tegak atasnya, di mana barangsiapa menyelisihinya maka dia bisa kafir, atau fasik, atau sebagai pelaku maksiat. Sesungguhnya aku menetapkan bahwa Allah mengampuni kesalahan umat ini, dan itu mencakup kesalahan dalam masalah-masalah khabariyah qauliyah dan masalah-masalah amaliyah." (Majmu' Al-Fatawa, 3/229. Lihat pula Majmu' al-Fatawa, 3/282-283; Qaidah Fi Ahli asSunnah, 3/103.)

Ketika Ibnul Wazir menetapkan mutawatirnya hadits-hadits tentang larangan  mengkaflrkan seorang Muslim(Lihat Itsar al-Haq ala al-Khalq, hal. 420-425.)

Dia rohimahullah berkata, "Semua itu mengandung kesaksian terhadap ancaman keras dalam masalah mengkafirkan seorang Mukmin dan mengeluarkannya dari Islam, padahal Mukmin tersebut mengakui tauhid dan kenabian, lebih-lebih dia melaksanakan rukun-rukun Islam, menjauhi dosa-dosa besar, dan terlihatnya bukti-bukti kebenaran pada dirinya dalam pembenarannya, dan hanya karena kekeliruan dalam bid'ah bersangkutan, bisa jadi orang yang menjadi sebab dia dikafirkan tersebut, jarang orang yang terhindar darinya, atau bahkan yang lebih ringan darinya, karena predikat ma'shum (terpelihara dari kesalahan dan dosa) adalah derajat yang tinggi, dan dugaan baik seseorang terhadap dirinya tidak mengotomatiskannya selamat dari itu, baik secara akal maupun syara'. (Lihat Itsar al-Haq ala al-Khalq, Ibnul Wazir, hal. 425426.)

Lanjut Ibnul Wazir, "Khawarij telah dihukum dengan hukuman paling berat dan dicela dengan celaan paling buruk karena mereka mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa (besar) dari kaum Muslimin, meskipun mereka  memandang beratnya kemaksiatan kepada Allah dan pengagungan mereka kepada Allah dengan mengkafirkan orang yang mendurhakaiNya, karena orang
yang mengkafirkan tidak dijamin tidak terjerumus ke dalam dosa seperti dosa mereka. Ini adalah bahaya besar dalam Agama, hendaknya orang yang bijak dan mulia berhati-hati." (Lihat Itsar al-Haq ala al-Khalq, Ibnul Wazir, hal. 425426.)
Imam asy-Syaukani juga memperingatkan ketergesa-gesaan dalam mengkafirkan. Kata beliau, "Ketahuilah, bahwa memvonis seorang Muslim keluar dari Agama dan masuk ke dalam kekufuran, tidak patut dilakukan oleh seorang Mukmin yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, kecuali dengan bukti yang lebih jelas daripada matahari di siang bolong, karena telah diriwayatkan di dalam hadits-hadits yang shahih dari sejumlah sahabat bahwa barangsiapa berkata kepada saudaranya, 'Hai kafir', maka (hukum kafir itu) kembali kepada salah satu di antara keduanya." (As-Sail al-Jarrar al-Mutadafiq ala Hada 'iq al-Azhar, asy-syaukany, 4/578.)

Pada saat para ulama besar tersebut menetapkan bahayanya masalah ini dan peringatan terhadap mengkafirkan orang yang bukan kafir, tidak berarti masalah ini kemudian dapat diremehkan dan menutup pintu riddah sama sekali dengan memvonis Islam orang yang jelas kekufurannya dengan dalil dan bukti. Jalan kedua ini tidak kalah bahaya dan penyirnpangannya daripada jalan pertama.
Keduanya tercela. Sebagian orang telah keliru, mereka hendak membantah orang-orang yang berlebih-lebihan tersebut dengan mengambil metode golongan Murji'ah, padahal yang wajib adalah menghindari cara membantah bid'ah dengan bid'ah, kebatilan tidak dihadapi dengan kebatilan. Masalah ini harus dijelaskan dengan dasar ilmu dan keadilan. DAN AHLUS SUNNAH (ADALAH ORANG-ORANG YANG) MENGETAHUI KEBENARAN DAN MENGASIHI MANUSIA.

Abul Ma'ali al-Juwaini pernah ditanya tentang memvonis kafir golongan Khawarij, maka dia menolak, karena memasukkan orang kafir ke dalam Agama dan mengeluarkan seorang Muslim darinya adalah perkara besar dalam Agama ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
(Dia ialah: Abdul Malik bin Imam Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini an- Naisaburi, seorang imam yang masyhur, ahli kalam dan ahli ushul, lahir tahun 419 H, memiliki beberapa karya tulis, menyibukkan diri dengan ilmu kalam, kemudian bertaubat darinya, dan wafat 478 H. Lihat Thabaqat asy-Syafi'iyah, 5/165, Siyar A'lam an-Nubala', 18/468.)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, "Prinsipnya adalah, wajib atas orang yang menasihati dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan dasar ilmu dan bukti dari Allah. Hendaknya dia berhati-hati dari mengeluarkan seseorang dari Islam hanya dengan pijakan pemahamannya dan anggapan baik oleh akalnya, karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau sebaliknya, termasuk di antara masalah paling besar dalam Agama. Setan telah menipu banyak orang dalam masalah ini, sebagian kalangan bersikap meremehkan, mereka memvonis Islam orang-orang di mana nash-nash al-Qur'an, sunnah dan ijma' menunjukkan kekufurannya, sementara kalangan yang lain bersikap melampaui batas, mereka mengkafirkan orang-orang di mana nashnash al-Qur'an, sunnah dan ijma' menetapkan keislamannya." (Ad-Durar asSaniyyah, 8/218. Lihat Risalah al-Kufru al-Ludzi Yu'dzam Shohibuhu bi al-jahli, karya Abdullah bin Abduirahman Abu Bathin, hal. 21)