ARTI PERNYATAAN “ ORANG YANG TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR BERARTI ORANG KAFIR””

Senin, 26 November 2012


Salah satu pernyataan yang paling popular di kalangan orang-orang yang gemar mengkafirkan orang lain adalah: "Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir berarti orang kafir."

KAIDAH INI MEREKA JADIKAN PEDOMAN DAN PEMBENARAN UNTUK MENGKAFIRKAN ORANG YANG BERBEDA PENDAPAT DENGAN MEREKA.

Sejatinya, mereka tidak meletakkan pernyataan ini pada tempatnya dan tidak memahaminya dengan baik. Sebab, MAKSUD DARI "ORANG KAFIR" DALALM PERNYATAAN TERSEBUT ADALAH ORANG YANG KEKAFIRANNYA SUDAH PASTI, yang memenuhi syarat pengkafiran dan tidak ada penghalang untuk itu. Yakni, orang yang kafir sejak semula, tidak pernah masuk lslam sama sekali, seperti halnya Fir'aun, Abu Jahal, Abu Lahab, Karl Marx, dst. Orang yang tidak mengkafirkan orang-orang tersebut dan semacam mereka berarti sama (kafirnya) seperti mereka.

SEDANGKAN ORANG YANG JATI DIRINYA TIDAK DIKETAHUI DENGAN PASTI, melainkan ia menampakkan diri sebagai seorang Muslim akan tetapi hatinya kafir dan sangat membenci Islam, maka orang semacam ini hanya harus dituding kafir oleh orang yang mengenalnya secara khusus dan memiliki
kedekatan istimewa dengannya sehingga mengetahui segala rahasia dirinya, dan mengetahui terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran serta tidak adanya penghalang untuk itu. Sedangkan orang yang tidak mengetahui itu dengan pasti dan melihatnya sebagai seorang Muslim, tidak boleh menudingnya kafir. Sebab, ia melihat apa yang diketahuinya. Kita hanya berwenang menilai secara lahir, sedangkan rahasia-rahasianya (batin) adalah wewenang Allah ta’ala. Orang-orang munafik pun diperlakukan layaknya Muslim karena mereka menampakkan diri sebagai Muslim dan tidak menyatakan kekafiran yang tersimpan dalam jiwanya.

PARA ULAMA SALAF MENYATAKAN BAHWA YANG DIMAKSUD DENGAN "ORANG KAFIR" DALAM PERNYATAAN TERSEBUT ADALAH ORANG KAFIR YANG SUDAH DIPASTIKAN KEKAFIRANNYA TANPA ADA YANG MENYELISIHINYA.

Pasalnya, orang yang kekafirannya masih diperdebatkan, orang yang tidak mengkafirkannya tidak bisa dicap sebagai kafir. HAL INI DIBUKTIKAN BAHWA IMAM AHMAD MENILAI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT TELAH KAFIR, SEDANGKAN KETIGA IMAM LAINNYA TIDAK MENILAINYA KAFIR. TELAH TERJADI PERDEBATAN ANTARA IMAM ASY-SYAFI'I DAN IMAM AHMAD TENTANG PERSOALAN INI. Nah, apakah Imam Ahmad menyatakan bahwa  Imam Asy-Syafi'i telah kafir karena tidak mengkafirkan orang yang tidak shalat? Tentu tidak.

Ibnu Taimiyah rohimahullah telah menelusuri pendapat yang dialamatkan kepada imamm Ahmad mengenai status hukum orang yang tidak mengkafirkan ahli bid'ah, ia berkata, "Terdapat dua riwayat darinya (Imam ahmad) tidak pengkafiran terhadap orang yang tidak mengkafirkan (ahli bid’ah);yang lebih shahih adalah ia (Imam Ahmad) tidak merngkafirkan (Al-Fatawa, 121486)

Ini terkait dengan pengkafiran orang yang kekafirannya masih diperdebatkan tidak ada hubungannya dengan pengkafiran orang yang sudah dipastikan kekafirannya.

Ihwal pendapat yang dialamatkan kepada Syaikh Muhammad bin abdil wahhab rohimahullah bahwa ia mengkafirkan orang yang tidak layak dikafirkan,

Kami sajikan beberapa pernyataannya yang menjelaskan metode dakhwahnya, yang sekaligus membantah kebohongan yang menyatakan bahwa dia mengkafirkan orang tidak layak dikafirkan. Dalam suratnya kepada AS-SYARIF, Muhammad bin Abdul Wahhab menerangkan: Kebohongan seperti yang mereka nyatakan bahwa kami mengkafirkan sembarang orang; mewajibkan hijrah kepada kami bagi orang yang
mampu menegakkan agamanya; mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang kafir; dan mengkafirkan orang yang tidak memerangi orang kafir; serta berbagai tuduhan lainnya terhadap kami. Semuanya merupakan kedustaan dan fitnah yang dilontarkan untuk menghalangi orang dari agama Allah dan Rasul-Nya. Apabila kami saja tidak sampai mengkafirkan penyembah berhala yang mengatasnamakan Abdul Qadir atau Ahmad Al-Badawi dan sebagainya lantaran kebodohan mereka dan tidak adanya orang yang menyadarkan mereka, lantas bagaimana bisa kami mengkafirkan orang yang sama sekali tidak menyekutukan Allah yang tidak berhijrah kepada kami; tidak mengkafirkan orang kafir; atau tidak memerangi orang kafir? Mahasuci Allah, semua itu adalah kebohongan yang besar.

 (Mishbah Azh-Zhulamm, karya Abdul Lathif bin Abdurrahman Ali Asy-Syaikh, hlm. 43)

Sernentara dalam suratnya yang membantah tuduhan As-Suwaidi Al- Baghdadi, ia memaparkan:

Tuduhan yang ada lontarkan bahwa saya mengkafirkan semua orang kecuali yang mengikuti saya, dan bahwa saya meyakini pernikahan mereka tidak sah, maka sungguhlah mengherankan. Bagaimana bisa tuduhan ini dilontarkan orang yang berakal? Apakah boleh orang mengatakan, "Ini muslim", atau "Ini kafir", atau "Ini ahli makrifat",atau "Ini orang gila" dan seterusnya?

Ihwal pengkafiran, saya mengkafirkan orang yang mengenal Islam lantas mencacinya setelah mengenalnya; menghalangi orang-orang darinya; dan memusuhi orang yang mengamalkannya. Inilah sosok orang yang saya kafirkan. Segala puji bagi Allah, kebanyakan umat tidak seperti itu.

( Mishbah Azh-Zhulam,hlm 43)
.
Itulah prinsip-prinsip penting yang harus diperhatikan sebelum melihat persoalan kafir-mengkafirkan; prinsip-prinsip yang disepakati para ulama dan mereka jadikan bahan pertimbangan dalam menyimpulkan hukum-hukum. Karena itulah mereka terhindar dari ketergelinciran; terlindung ndung dari kejatuhan dalam jurang pengkafiran; mantap dalam meniti ( jalan yang lurus; jalan yang benar yang tidak menyimpang.

Bagi pembaca yang hendak meneliti lebih lanjut persoalan ini,hendaklah ia mempelajari:

1. Manhaj Ibni Taimiyh, karya DR. Abdul Majid Asy-Sya'bi, tentang
persoalan pengkafiran;

2. Zhahirah At-Takfir, karya Al-Amin Al-Hajj Muhammad Ahmad;

3. Zhahirah Al-Ghuluww fi Ad-Din fi Al-Ashr Al-Hadits, karya Muhammad Abdul Hakim Hamid;

4. Al- Ghuluww fi Ad-Din fi Hayah Al-Muslimin Al-Mu 'ashirah, karya Abdurrahman bin Ma'la Al-Luwaihiq;

5. Syubuhat haula Al-Fikri Al-Islami Al-Mu'ashir, karya Salim Al-Bihansawi;

6. AlHukm wa Qadhiyah Takfir Al-Muslim, karya Salim Al-Bihansawi.