Salah satu pernyataan yang paling popular di kalangan orang-orang
yang gemar mengkafirkan orang lain adalah: "Orang yang tidak mengkafirkan orang
kafir berarti orang kafir."
KAIDAH INI MEREKA JADIKAN PEDOMAN DAN PEMBENARAN UNTUK MENGKAFIRKAN
ORANG YANG BERBEDA PENDAPAT DENGAN MEREKA.
Sejatinya, mereka tidak meletakkan pernyataan ini pada tempatnya
dan tidak memahaminya dengan baik. Sebab, MAKSUD DARI "ORANG KAFIR"
DALALM PERNYATAAN TERSEBUT ADALAH ORANG YANG KEKAFIRANNYA SUDAH PASTI, yang memenuhi
syarat pengkafiran dan tidak ada penghalang untuk itu. Yakni, orang yang kafir
sejak semula, tidak pernah masuk lslam sama sekali, seperti halnya Fir'aun, Abu
Jahal, Abu Lahab, Karl Marx, dst. Orang yang tidak mengkafirkan orang-orang
tersebut dan semacam mereka berarti sama (kafirnya) seperti mereka.
SEDANGKAN ORANG YANG JATI DIRINYA TIDAK DIKETAHUI DENGAN PASTI, melainkan
ia menampakkan diri sebagai seorang Muslim akan tetapi hatinya kafir dan sangat
membenci Islam, maka orang semacam ini hanya harus dituding kafir oleh orang yang mengenalnya secara khusus dan
memiliki
kedekatan istimewa dengannya sehingga mengetahui segala rahasia
dirinya, dan mengetahui terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran serta tidak
adanya penghalang untuk itu. Sedangkan orang yang tidak mengetahui itu
dengan pasti dan melihatnya sebagai seorang Muslim, tidak boleh menudingnya
kafir. Sebab, ia melihat apa yang diketahuinya. Kita hanya berwenang menilai
secara lahir, sedangkan rahasia-rahasianya (batin) adalah wewenang Allah ta’ala.
Orang-orang munafik pun diperlakukan layaknya Muslim karena mereka menampakkan
diri sebagai Muslim dan tidak menyatakan kekafiran yang tersimpan dalam
jiwanya.
PARA ULAMA SALAF MENYATAKAN BAHWA YANG DIMAKSUD DENGAN "ORANG KAFIR"
DALAM PERNYATAAN TERSEBUT ADALAH ORANG KAFIR YANG SUDAH DIPASTIKAN KEKAFIRANNYA
TANPA ADA YANG MENYELISIHINYA.
Pasalnya, orang yang kekafirannya masih diperdebatkan, orang yang
tidak mengkafirkannya tidak bisa dicap sebagai kafir. HAL INI DIBUKTIKAN BAHWA
IMAM AHMAD MENILAI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT TELAH KAFIR, SEDANGKAN KETIGA
IMAM LAINNYA TIDAK MENILAINYA KAFIR. TELAH TERJADI PERDEBATAN ANTARA IMAM
ASY-SYAFI'I DAN IMAM AHMAD TENTANG PERSOALAN INI. Nah, apakah Imam Ahmad
menyatakan bahwa Imam Asy-Syafi'i telah
kafir karena tidak mengkafirkan orang yang tidak shalat? Tentu tidak.
Ibnu Taimiyah rohimahullah telah menelusuri pendapat yang
dialamatkan kepada imamm Ahmad mengenai status hukum orang yang tidak
mengkafirkan ahli bid'ah, ia berkata, "Terdapat dua riwayat darinya (Imam
ahmad) tidak pengkafiran terhadap orang yang tidak mengkafirkan (ahli bid’ah);yang
lebih shahih adalah ia (Imam Ahmad) tidak merngkafirkan (Al-Fatawa, 121486)
Ini terkait dengan pengkafiran orang yang kekafirannya masih
diperdebatkan tidak ada hubungannya dengan pengkafiran orang yang sudah
dipastikan kekafirannya.
Ihwal pendapat yang dialamatkan kepada Syaikh Muhammad bin abdil
wahhab rohimahullah bahwa ia mengkafirkan orang yang tidak layak dikafirkan,
Kami sajikan beberapa pernyataannya yang menjelaskan metode
dakhwahnya, yang sekaligus membantah kebohongan yang menyatakan bahwa dia
mengkafirkan orang tidak layak dikafirkan. Dalam suratnya kepada AS-SYARIF,
Muhammad bin Abdul Wahhab menerangkan: Kebohongan seperti yang mereka nyatakan bahwa kami mengkafirkan sembarang orang; mewajibkan hijrah kepada kami bagi orang yang
mampu menegakkan agamanya; mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan orang kafir; dan mengkafirkan orang yang tidak memerangi orang kafir; serta berbagai tuduhan lainnya terhadap kami. Semuanya merupakan kedustaan dan fitnah yang dilontarkan untuk menghalangi orang dari agama Allah dan Rasul-Nya. Apabila
kami saja tidak sampai mengkafirkan penyembah berhala yang mengatasnamakan
Abdul Qadir atau Ahmad Al-Badawi dan sebagainya lantaran kebodohan mereka dan
tidak adanya orang yang menyadarkan mereka, lantas bagaimana bisa kami
mengkafirkan orang yang sama sekali tidak menyekutukan Allah yang tidak
berhijrah kepada kami; tidak mengkafirkan orang kafir; atau tidak memerangi orang kafir? Mahasuci Allah, semua itu adalah kebohongan yang
besar.
(Mishbah Azh-Zhulamm, karya
Abdul Lathif bin Abdurrahman Ali Asy-Syaikh, hlm. 43)
Sernentara dalam suratnya yang membantah tuduhan As-Suwaidi Al- Baghdadi,
ia memaparkan:
Tuduhan yang ada lontarkan bahwa saya
mengkafirkan semua orang kecuali yang
mengikuti saya, dan bahwa saya meyakini pernikahan mereka tidak sah, maka sungguhlah
mengherankan. Bagaimana bisa tuduhan ini dilontarkan orang yang berakal? Apakah
boleh orang mengatakan, "Ini muslim", atau "Ini kafir",
atau "Ini ahli makrifat",atau "Ini orang gila" dan
seterusnya?
Ihwal pengkafiran, saya mengkafirkan orang yang mengenal Islam lantas
mencacinya setelah mengenalnya; menghalangi orang-orang darinya; dan memusuhi
orang yang mengamalkannya. Inilah sosok orang yang saya kafirkan. Segala puji bagi Allah,
kebanyakan umat tidak seperti itu.
( Mishbah Azh-Zhulam,hlm 43)
.
Itulah prinsip-prinsip penting yang harus diperhatikan sebelum melihat
persoalan kafir-mengkafirkan; prinsip-prinsip yang disepakati para ulama dan
mereka jadikan bahan pertimbangan dalam menyimpulkan hukum-hukum. Karena itulah
mereka terhindar dari ketergelinciran; terlindung ndung dari kejatuhan dalam
jurang pengkafiran; mantap dalam meniti ( jalan yang lurus; jalan yang benar
yang tidak menyimpang.
Bagi pembaca yang hendak meneliti lebih lanjut persoalan
ini,hendaklah ia mempelajari:
1. Manhaj Ibni Taimiyh, karya DR. Abdul Majid Asy-Sya'bi, tentang
persoalan pengkafiran;
2. Zhahirah At-Takfir, karya Al-Amin Al-Hajj Muhammad Ahmad;
3. Zhahirah
Al-Ghuluww fi Ad-Din fi Al-Ashr Al-Hadits, karya Muhammad Abdul
Hakim Hamid;
4. Al-
Ghuluww fi Ad-Din fi Hayah Al-Muslimin Al-Mu 'ashirah, karya Abdurrahman bin
Ma'la Al-Luwaihiq;
5. Syubuhat
haula Al-Fikri Al-Islami Al-Mu'ashir, karya Salim Al-Bihansawi;
6. AlHukm wa
Qadhiyah Takfir Al-Muslim, karya Salim Al-Bihansawi.