(Mereka Tidak Memberikan Syarat Yang Aneh-Aneh Yang Kemudian Bertujuan Untuk Tidak Menganggap Kepemimpinan Tersebut Dan Atau Mencari Alasan Untuk Memberontak Terhadap Penguasa Muslim )
((.... ولم يدر هؤلاء المفتونون أن أكثر ولاة أهل الإسلام – من عهد يزيد بن معاوية - حاشا عمر بن عبد العزيز ومن شاء الله من بني أمية – قد وقع منهم من الجراءة والحوادث العظام والخروج والفساد في ولاية أهل الإسلام ومع ذلك فسيرة الأئمة الأعلام والسادة العظام – معهم – معروفة مشهورة، لا ينزعون يد من طاعة فيما أمر الله به رسوله من شرائع الإسلام وواجبات الدين.
“Orang-orang yang terfitnah ini (berfaham khowarij-pen) tidaklah mengetahui, (mereka tidak membaca tarikh-pen) bahwa kebanyakan penguasa umat Islam semenjak zaman Yazid bin Mu’awiyah (kecuali ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan orang yang Allah kehendaki dari bani umayyah)
Sebagian jari mereka terjatuh kedalam kelancangan, kecelakaan yang besar, , membangkang dan membuat kerusakan di dalam pemerintahan ahli islam disamping itu ( kita lihat ) perjalanan para imam yang 'alim dan sebagai panutan yang agung ( yakni para imam ahlussunnah wal jamaah ) yang hidup di masa-masa mereka ( para pengasa tersebut ), ini adalah kejadian yang sangat masyhur lagi dikenal, dimana mereka tidak mencabut ketaatan sebagaimana yang Allah dan rosul telah perintahkan dengannya yang merupakan bagian dari syari'at islam dan kewajiban-kewajiban agama.
وأضرب لك مثلاً ب
Aku beri contoh seperti Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, kelakuannya sangat terkenal di sejarah umat ini dengan kedholiman dan penganiayaannya,serta sikap melampaui batas didalam mengalirkan darah dan melanggar keharaman-keharaman Allah, maka banyaklah nyawa yang meregang. Bahkan ia membunuh orang-orang pilihan umat ini, seperti Said Ibn Jubair, ( seorang tokoh ‘alim di masa tabi’in, yang merupakan murid Ibnu ‘Abbas-pen) dan mengepung ‘Abdullah bin Zubair bin Awwam (rahidyallahu ‘anhu) di ketika berlindung diri di Masjidil Haram, di Ka’bah ( Seorang sahabat, anak seorang sahabat pula) . Dia tidak mempedulikan keharaman Masjidil Haram, keharaman Ka’abah. Dia membunuh ‘Abdullah bin Zubair. Padahal Ibnu Zubair telah memberikan bai’atnya, bersedia taat kepadanya. Dimana sebelumnya dia telah dibai’at oleh penduduk Makkah Madinah, Yaman, dan mayoritas penduduk Iraq. Al-hajaj adalah wakil dari khalifah marwan dan anaknya yakni Abdul malik.
Tidak satu pun dari para Khulafa’ (pemerintah sebelumnya) yang mewariskan kekhalifahan tersebut kepada Marwan (ayah ‘Abdul Malik), tidak pula dipilih oleh ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ahli Syura). ( Hanya kerana dia memiliki kekuatan, memiliki pengikut, akhirnya kekuasaan diperoleh olehnya).
(Sekali lagi, perkara tersebut tidaklah terlalu penting, yang lebih penting adalah) sikap seorang ahli ilmu yang tetap taat dan tunduk kepadanya, dan membenarkan ketaatan padanya di dalam pelaksanaan rukun-rukun islam dan kewajiban-kewajiban agama
وكان بن عمر – ومن أدرك
وكذلك من في زمنه من التابعين، كابن المسيب والحسن البصري وابن سيرين، وإبراهيم التيمي، وأشباههم ونظرائهم من سادات الأمة.
واستمر العمل على هذا بين علماء الأمة من سادات الأمة وأئمتها، يأمرون بطاعة الله ورسوله والجهاد في سبيله مع كل إمام بر أو فاجر – كما هو معروف في كتب أصور الدين والعقائد -.
Bahkan seorang sahabat - ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab (radhiyallahu ‘anhu), juga beberapa sahabat yang masih hidup di masa Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, kesemuanya memberikan kepatuhan dan ketaatan kepada Hajjaj atau pun ‘Abdul Malik bin Marwan. Lebih penting bagi mereka adalah tetap menjalankan syari’at Islam walaupun sedang berada di bawah kepimpinan penguasa tersebut. Kriterianya, karena dengan itu mereka meyakininya sebagai bentuk kesempurnaan iman mereka.
Demikian pula di masa itu para ulama dari kalangan tabi’in, seperti
- Sa’id Ibnul Musayyib
- Hasan al-Bashri
- Muhammad bin Sirin
- Ibrahim at-Taimi
dan para ulama lainnya, semuanya sepakat untuk taat dan patuh di bawah kepemimpinannya.
Demikianlah, sikap ini adalah agama yang diwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi berikutnya dari para ulama salaf kepada ulama berikutnya. Mereka selalu mengingatkan dan mewariskan untuk taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya, berjihad di jalan Allah bersama di bawah seorang penguasa, seorang imam, baik ia sholeh maupun fajir. Ini adalah sesuatu yang ma’ruf dalam kitab-kitab ushuluddin (prinsip-prinsip agama), kitab-kitab ‘aqidah yang ditulis oleh para imam kita.
وكذلك بنوا العباس استولوا على بلاد المسلمين قهراً بالسيف,لم يساعدهم أحد من أهل العلم والدين، وقتلوا خلقاً كثيراً وجمعاً غفيراً من بني أمية وأمرائهم ونوابهم، وقتلوا أبن هبيرة أمير العراق، وقتلوا الخليفة مروان، حتى نقل أن السفاح قبل في يوم واحد نحو الثمانين من بني أمية، ووضع الفرش على جثثهم وجلس عليها، ودعا بالمطاعم والمشارب.
Selain itu, demikian pula dengan sejarah Bani ‘Abbasiyah. Mereka berhasil menguasai negara-negara muslim dengan kekuatan/pedang pada waktu tersebut. Mereka sampai ke tampuk keuasaan bukanlah dengan bantuan / pilihan para ulama, ( tetapi dengan jalan pasukan tempur, merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Sama, Abbasiyah untuk sampai ke tampuk kekuasaan itu juga banyak melakukan kezaliman-pen ), membunuh sekian banyak umat Islam, terutamanya dari Bani Umayyah, para menterinya, para gubernurnya dan para penjabat dari Bani Umayyah tersebut. Mereka membunuh Ibnu Hubairah, gabernur Iraq ketika itu. Mereka membunuh pula Khalifah Marwan.
Bahkan dinukilkan pula di dalam sejarah bahwa as-Saffah (gelar Khalifah pertama Bani ‘Abbasiyah) dalam masa satu hari ketika dia berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah, dengan tangannya dia membunuh lebih dari 80 orang.
( Bukan sekadar itu, setelah dia bunuh lebih dari 80 orang Bani Umayyah ) ia meletakkan tikar diatas tubuh ( mayat – mayat ) bani umayyah lantas ia duduk diatasnya, dan meminta dihidangkan makanan dan minuman.
ومع ذلك فسيرة الأئمة كالأوزاعي، ومالك، والزهري، والليث بن سعد، وعطاء بن أبي رباح، مع هؤلاء الملوك لا تخفي على من لهم مشاركة في العلم وإطلاع.
Demikianlah sejarah perjalanan para imam ( imam muhadditsin ), para imam seperti (( Di zaman tersebut hidup ),
- Imam al-Auza’i
- Malik bin Anas
- az-Zuhri Ibnu Syihab
- Laits bin Sa’d
- Atha’ bin Abi Rabbah
Mereka hidup di zaman raja-raja tersebut (mereka adalah tokoh-tokoh ulama besar). tidaklah menjadi samar bagi orang yang memiliki ilmu dan perhatian
( di mana sikap mereka jelas,mereka tetap taat, tetap beribadah, tetap menjalankan syari’at Islam di bawah kepemimpinan penguasa seperti itu-pen)
والطبقة الثانية من أهل العلم، كأحمد بن حنبل، ومحمد بن إسماعيل، وحمد بن إدريس، واحمد بن نوح، وأسحق بن راهوية، وإخوانهم... وقع في عصرهم من الملوك ما وقع من البدع العظام وإنكار الصفات، ودعوا إلي ذلك، وامتحنوا فيه وقتل من قتل، كأحمد بن نصر، ومع ذلك، فلا يعلم أن أحداً منهم نزع يداً من طاعة، ولا رأي الخروج عليهم.. )) الدرر السنية في الأجوبة النجدية : (7/177-178 )
Kemudian thobaqot ke dua (generasi berikutnya dari Ahlul Ilmi), seperti
- Ahmad bin Hanbal
- Muhammad bin Ismail al-Bukhari
- Muhamamd B. Idris asy-Syafi’i
- Ahmad bin Nuh
- Ishaq bin Rahawaih), dan para ulama lainnya.
Di masa mereka penguasanya banyak melakukan bid'ah yang besar, (bahkan kemungkaran yang besar, yaitu dalam soal prinsip-prinsip agama ini-pent) mengingkari sifat-sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Shifat). Bahkan mereka mengajak ( mewajibkan ) rakyatnya untuk mentaati (mengikuti) bid’ah tersebut.
Dan mereka (para penguasa) menguji para ulama ( untuk mengatakan bahwa al-qur'an adalah makhluk ), maka banyaklah nyawa yang terbunuh
seperti imam Ahmad bin Nasr (di masa Imam Ahmad). Sekali lagi, tidak kita dapati dari para ulama tersebut menentang, melawan, dan yang tidak mau taat kepada penguasanya.
Demikianlah nasihat dari Syaikh ‘Abdul Latif Alu Syaikh rahimahullah.” (Ad-Durar as-Sunniyyah fil Ajwibah an-Najdiyah, 7/177-178.
Lihatlah sikap Imam ahmad bin hanbal, seorang imam ahlussunnah wal jamaah;
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk (Perkataan ini adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk ) dan perkara yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah hal. 133].