Pembahasan "Infaq Persenan" Bagian ke VI

Selasa, 16 Maret 2010

MENJAWAB SUBHAT-SUBHAT

"INFAQ PERSENAN" DARI KH.KASMUDI ASSIDQY

Transkrip rekaman nasihat KH. kasmudi , Kediri 12-10-08


…......Yang ketiga satu-satunya jamaah supaya memerlukan dan mempersungguh membela qur’an dan hadits . Intinya satu-satunya jamaah diminta ridhonya untuk meng-infaqkan sebagian hartanya, untuk kelancaran fii sabilillah, sebab imam itu sebagai peramut ru’yah.

- Ibaratnya seorang bapak punya kewajiban untuk meramut anak

- Ibaratnya seorang wali yang diserahi meramut anak yatim punya kewajiban meramut anak yatim.

- Ibaratnya seseorang yang menanggung seseorang ia punya kewajiban untuk menyelesaikan tanggungannya.

Di dalam mengurusi anak yatim, maka wali, boleh menggunakan hartanya anak yatim untuk kemaslahatan anak yatim itu.

Pembahasan:

Ucapan Pak Kiyai ini sebenarnya ia sedang menggunakan kaidah fiqh, hanya saja ia tidak menyebutkannya (mengapa kami berani menyebutkannya demikian? Dikarenakan para mubaligh paku bumi selalu menggunakan kaidah ini), yakni

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Tindakan Imam terhadap rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan

Kaidah di atas berasal dari fatwa imam syafi'i :

(منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم)

"Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukannya seorang wali terhadap anak yatim"

Dan dasar perkataan Imam Syafi'i ini diambil dari perkataan Umar –Rodliallohu 'anhu

قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ( إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللَّهِ تَعَالَى بِمَنْزِلَةِ وَلِيِّ الْيَتِيمِ إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ ) أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ الْبَرَاءِ . الْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ عَلَى مَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ[1]

Umar –Rodliallohu 'anhu berkata: Sesungguhnya aku menempatkan diriku dari harta Allah Ta'ala sebagaimana kedudukannya seorang wali anak yatim, jika aku memerlukannya maka aku mengambil darinya, maka ketika terdapat sisa maka aku mengembalikannya, maka jika aku tidak membutuhkannya maka aku mencegahnya (menjauhinya)* dikeluarkan oleh sa'id bin Mansyur dari baro'

وَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه " إنِّي أَنْزَلْت نَفْسِي وَإِيَّاكُمْ مِنْ هَذَا الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : { وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ }* سورة النساء، آية (6) وَاَللَّهِ مَا أَرَى أَرْضًا تُؤْخَذُ مِنْهَا شَاةٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ إلَّا اُسْتُسْرِعَ خَرَابُهَا ( انْتَهَى ) *الْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ عَلَى مَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانِ

Dan berkata amirul mukminin Umar bin Khottob Rodliallohu 'anhu; " Sesungguhnya aku menempatkan diriku dan kepada kalian dari harta ini sebagaimana kedudukannya wali anak yatim sesungguhnya Allah Tabaroka Wata'ala berfirman : "Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut" Dan demi Allah tidak kulihat suatu bumi yang dapat diambil darinya seekor kambing pada tiap hari kecuali disegerakan kehancurannya (bumi – yakni, untuk dilakukan ekspansi-pen)".

Telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi bahwa perkataan Khalifah Umar ini berkenaan ketika beliau mengutus tiga orang sahabat ke negeri penaklukan, yakni Kuffah, yaitu Amar bin yasir untuk mengurus masalah sholat dan pasukan, Ibnu mas'ud untuk mengurus masalah hukum dan baitul mal, dan 'usman bin hunaif untuk mengurus pengukuran tanah.

Maka kaidah fiqh di atas berkenaan dengan penyelenggaraan kenegaraan/ pemerintahan, yakni tindakan pemimpin negara melakukan kebijakan kepada rakyatnya haruslah di dasarkan pada kemaslahatan rakyat, bukan dimaksud pada Amir yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali.

Ini terbukti bahwa Kaidah fiqh ini bersumber dari perkataan Umar bin Khottob ketika mengutus tiga orang amilnya ke negeri kuffah ( negeri yang telah dikuasai islam) termasuk di dalamnya ditetapkannya jizyah/upeti atau pajak kepada kafir zimmi ( perkataan Umar di atas" Dan demi Allah tidak kulihat suatu bumi yang dapat diambil darinya seekor kambing pada tiap hari kecuali disegerakan kehancurannya (bumi – yakni, untuk dilakukan ekspansi-pen))". Maka pajak/upeti yang diambil oleh Nabi dan para kholifah adalah kepada orang kafir zimmi yang berada di bawah kekuasaannya, maka sekarang apa yang dilakukan oleh imam 354, ia telah mengambil pajak/upeti itu kepada para jama'ahnya sendiri dengan menggunakan istilah "infaq persenan" ( hujjahnya telah kita sebutkan pada pembahasan yang lalu).

Sekarang imam yang punya kewajiban ijtihad nasihat, ngajak masuk surga selamat dari neraka, maka meramut ru’yah banyak, ada yang kaya, ada yang miskin,ada yang kena musibah ada yang dapat duit banyak, maka imam berkewajiban di dalam meramutnya itu punya hak menggunakan harta-hartanya para jama’ah dalam rangka untuk kemaslahatan jama’ah, maka itulah adanya perintah infaq fii sabilillah,

Maka dari itu perintah infak fii sabilillah adalah perintah yang mencocoki perintahnya Allah rasul, bukan bid’ah, sebagian orang akhir-akhir ini menganggap itu bid’ah karena imam tidak punya hak untuk itu, maka sekarang saya jelaskan

Di dalam kitab al-ahkamu as-sulthonyah disebutkan

وَاَلَّذِي يَلْزَمُهُ مِنْ الْأُمُورِ الْعَامَّةِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ :

وَالسَّابِعُ : جِبَايَةُ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَاتِ عَلَى مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ نَصًّا وَاجْتِهَادًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا عَسْفٍ .

Salah satu kewajiban imam ngatur rukyah ada sepuluh, sepuluh macam kewajiban imam mengatur ru'yah,

Yang nomor tujuh, Bahwa kewajiban imam itu menghimpun harta fai', menghimpun shodaqoh - shodaqoh yang diwajibkan secara syara', yaitu menghimpun zakat, ( jadi imam punya hak mengatur, menghimpun shodaqoh-shodaqoh artinya zakat-zakat yang wajib yang diwajibkan oleh Alloh Rosul, diatur sana dapat berapa, sana dapat berapa, kelompok dapat sekian, amil dapat sekian, dan shodaqoh - shodaqoh yang berdasarkan ijtihad tanpa adanya intimidasi dan tanpa adanya pemaksaan.

Yaitu berdasarkan memberikan kesadaran, infak itu sesuatu yang mulia, infak berpahala besar, kamu punya tanggung jawab untuk kemaslahatan jama'ah secara keseluruhan, bagaimana kita harus membiayai pengajar kita , membiayai pengadaan mubaligh, membiayai ........membiayai tempat-tempat ibadah, membiayai tempat-tempat pendidikan, membiayai kendaraan-kendaraan untuk kelancaran, membiayai transportasi lalu lintas mubaligh, .....

Tugas imam menghimpun dana-dana shodaqoh, infak berdasarkan ijtihad, maka diijtihadi ada yang namanya infak persenan, ada yang namanya shodaqoh lailatu al-qodar, ada yang namanya shodaqoh hari raya, ada yang namanya.. ya macam-macam.

Kalau imam sudah mengatur seperti itu, maka kewajibannya rukyah adalah sami'na, wa atho'na mastatho'na, karena perintah mengumpulkan dana untuk kelancaran fii sabilillah itu tidak maksiat, jelas itu tidak bid'ah bahkan itu menghidupkan sunnah, maka kewajiban kita semua adalah menetapi Jama'ah,

Pembahasan:

Perhatikan perkataan Kiyai ini saat ini ia lagi-lagi ( karena merupakan kebiasaannya) melakukan pengkhianatan ilmiah, yakni hanya menyampaikan sebagian dan membiarkan/menyembunyikan yang sebagian lagi tanpa pernah diketahui oleh pendengarnya, baik ia menyebutkan kitab Al-Ahkamu As-sulthonyah ( yang dimaksud adalah karya Imam al-mawardi, karena ada pula kitab Al-ahkamu As-sulthonyah karya imam abu ya'la ), dimana ia hanya mengutip tugas dari seorang amir hanya poin ke tujuh saja sebagai landasan umum ijtihad "Infaq persenan" serta mengabaikan sembilan poin yang merupakan tugas seorang Amir, seperti di bawah ini;

وَاَلَّذِي يَلْزَمُهُ مِنْ الْأُمُورِ الْعَامَّةِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ :

Tugas-tugas imam/amir

أَحَدُهَا حِفْظُ الدِّينِ عَلَى أُصُولِهِ الْمُسْتَقِرَّةِ وَمَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ ، فَإِنْ نَجَمَ[2] مُبْتَدِعٌ أَوْ زَاغَ ذُو شُبْهَةٍ عَنْهُ أَوْضَحَ لَهُ الْحُجَّةَ وَبَيَّنَ لَهُ الصَّوَابَ وَأَخَذَهُ بِمَا يَلْزَمُهُ مِنْ الْحُقُوقِ وَالْحُدُودِ ، لِيَكُونَ الدِّينُ مَحْرُوسًا مِنْ خَلَلٍ وَالْأُمَّةُ مَمْنُوعَةً مِنْ زَلَلٍ .

  1. Menjaga agama sesuai dengan dasar-dasarnya yang establish,dan ijma' genearsi salaf, maka jika muncul pembuat bid'ah, atau orang yang sesat/menyimpang yang membuat subhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya , dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan umat terlindungi dari usaha penyesatan

الثَّانِي : تَنْفِيذُ الْأَحْكَامِ بَيْنَ الْمُتَشَاجِرِينَ وَقَطْعُ الْخِصَامِ بَيْنَ الْمُتَنَازِعِينَ حَتَّى تَعُمَّ النَّصَفَةُ ، فَلَا يَتَعَدَّى ظَالِمٌ وَلَا يَضْعُفُ مَظْلُومٌ .

2. Menerapkan hukum di antara dua pihak yang beperkara, dan menghentikan perseteruan di antara dua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara merata, maka yang dholim tidak semena-mena dan orang yang teraniaya tidak merasa lemah

الثَّالِثُ : حِمَايَةُ الْبَيْضَةِ وَالذَّبُّ عَنْ الْحَرِيمِ لِيَتَصَرَّفَ النَّاسُ فِي الْمَعَايِشِ وَيَنْتَشِرُوا فِي الْأَسْفَارِ آمِنِينَ مِنْ تَغْرِيرٍ بِنَفْسٍ أَوْ مَالٍ .

Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci, agar manusia dapat leluasa bekerja, dan bepergian ke tempat manapun dengan aman dari gangguan terhadap jiwa dan harta

وَالرَّابِعُ : إقَامَةُ الْحُدُودِ لِتُصَانَ مَحَارِمُ اللَّهِ تَعَالَى عَنْ الِانْتِهَاكِ وَتُحْفَظَ حُقُوقُ عِبَادِهِ مِنْ إتْلَافٍ وَاسْتِهْلَاكٍ .

Menegakkan supremasi hukum ( hudud) untuk melindungi larangan-larangan Allah ta'ala dari upaya pelanggaran terhadapnya, dan melindungi hak-hak hamba-hambanya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya

وَالْخَامِسُ : تَحْصِينُ الثُّغُورِ بِالْعُدَّةِ الْمَانِعَةِ وَالْقُوَّةِ الدَّافِعَةِ حَتَّى لَا تَظْفَرَ الْأَعْدَاءُ بِغِرَّةٍ يَنْتَهِكُونَ فِيهَا مُحَرَّمًا أَوْ يَسْفِكُونَ فِيهَا لِمُسْلِمٍ أَوْ مُعَاهَدٍ دَمًا

Melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh, dan kekuatan yang tangguh hingga musuh tidak mampu mendapatkan celah untuk menerobos masuk guna merusak kehormatan, atau menumpahkan darah orang muslim atau orang yang berdamai dengan orang muslim (mu'ahid)

وَالسَّادِسُ : جِهَادُ مَنْ عَانَدَ الْإِسْلَامَ بَعْدَ الدَّعْوَةِ حَتَّى يُسْلِمَ أَوْ يَدْخُلَ فِي الذِّمَّةِ لِيُقَامَ بِحَقِّ اللَّهِ تَعَالَى فِي إظْهَارِهِ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ .

Memerangi orang yang menentang islam setelah sebelumnya ia didakwahi hingga ia masuk islam, atau masuk dalam perlindungan kaum muslimin ( ahlu dzimmah ), agar hak Alloh Ta'ala terealisir yaitu kemenangan-Nya atas seluruh agama.

وَالسَّابِعُ : جِبَايَةُ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَاتِ عَلَى مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ نَصًّا وَاجْتِهَادًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا عَسْفٍ .

Mengambil Fai' ( harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa pertempuran ) dan shodaqoh yang sesuai dengan yang diwajibkan syari'at dan secara ijtihad tanpa adanya rasa takut/intimidasi dan paksaan

وَالثَّامِنُ : تَقْدِيرُ الْعَطَايَا وَمَا يَسْتَحِقُّ فِي بَيْتِ الْمَالِ مِنْ غَيْرِ سَرَفٍ وَلَا تَقْتِيرٍ وَدَفْعُهُ فِي وَقْتٍ لَا تَقْدِيمَ فِيهِ وَلَا تَأْخِيرَ .

Menentukan gaji dan apa saja yang diperlukan dalam baitul mal (kas negara) tanpa berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, kemudian mengeluarkannya tepat pada waktunya, tidak mempercepat atau menunda pengeluarannya.

التَّاسِعُ : اسْتِكْفَاءُ الْأُمَنَاءِ وَتَقْلِيدُ النُّصَحَاءِ فِيمَا يُفَوَّضُ إلَيْهِمْ مِنْ الْأَعْمَالِ وَيَكِلُهُ إلَيْهِمْ مِنْ الْأَمْوَالِ ، لِتَكُونَ الْأَعْمَالُ بِالْكَفَاءَةِ مَضْبُوطَةً وَالْأَمْوَالُ بِالْأُمَنَاءِ مَحْفُوظَةً

Mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi masalah keuangan, agar tugas-tugas ini dikerjakan oleh orang-orang yang ahli, dan keuangan dipegang oleh orang-orang yang jujur

الْعَاشِرُ : أَنْ يُبَاشِرَ بِنَفْسِهِ مُشَارَفَةَ الْأُمُورِ وَتَصَفُّحَ الْأَحْوَالِ ؛ لِيَنْهَضَ

بِسِيَاسَةِ الْأُمَّةِ وَحِرَاسَةِ الْمِلَّةِ ، وَلَا يُعَوِّلُ عَلَى التَّفْوِيضِ تَشَاغُلًا بِلَذَّةٍ أَوْ عِبَادَةٍ ، فَقَدْ يَخُونُ الْأَمِينُ وَيَغُشُّ النَّاصِحُ ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : يَا دَاوُد إنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتْبَعْ الْهَوَى فَيُضِلّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ *

Terjun langsung menangani segala persoalan, dan menginspeksi keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama. Tugas-tugas tersebut tidak boleh ia delegasikan kepada orang lain dengan alasan sibuk istirahat atau ibadah. Jika tugas-tugas tersebut ia limpahkan kepada orang lain, sungguh ia berkhianat kepada umat, dan menipu penasihat, Alloh ta'ala berfirman;

"Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.(Surat shaad ayat 26)

Maka dengan membaca ke sepuluh tugas-tugas imam, maka nampaklah bagi kita tentang sosok seorang imam yang dimaksud, artinya tidaklah ada manfaatnya sama sekali untuk mempergunakan ( tegasnya membodohi umat ) dengan menggunakan poin ke tujuh lalu meninggalkan sembilan poin yang lainnya yang menjadi hakikat tugas yang mesti diemban oleh seorang Amir, maka kalau ia tidak sanggup untuk mengerjakannya maka dia bukanlah Amir yang mu'tabar/ diakui, ia hanyalah seseorang yang sekedar mengaku-ngaku seorang Amir.

Sebuah keterangan yang sangat berharga dari Syaikh Islam Ibnu Taimyah ketika menjelaskan hadits Nabi j;

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ* رواه البخاري في صحيحه ( 8/104 )

setiap kalian Adalah penggembala ( pemimpin ) dan tiap-tiap kalian akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang imam adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya* HR. Bukhori

وهذا مثل كون الرجل راعيا للماشية متى سلمت إليه بحيث يقدر أن يرعاها كان راعيا لها وإلا فلا فلا عمل إلا بقدرة عليه فمن لم يحصل له القدرة على العمل لم يكن عاملا والقدرة على سياسة الناس إما بطاعتهم له وإما بقهره لهم فمتى صار قادرا على سياستهم بطاعتهم أو بقهره فهو ذو سلطان مطاع إذا أمر بطاعة الله

Dan ini adalah perumpamaan keadaan seorang laki-laki yang menggembala pada kawanan hewan ternak, kapan ternak-ternak itu selamat bila mana penggembala itu berkuasa untuk menggembalanya maka ia adalah seorang penggembala, dan bila tidak maka tidak ada pekerjaan terkecuali dengan kekuatan atasnya. Maka barang siapa yang tidak memiliki kemampuan/ kekuatan atas sebuah pekerjaan maka ia bukanlah seorang pekerja. Dan adapun kemampuan, wajib (dibutuhkan ) untuk mengatur manusia, adakalanya dengan ketaatan mereka kepadanya dan adakalanya dengan pemaksaan pada mereka, maka kapan ia menjadi mampu / berkuasa untuk mengatur manusia dengan ketaatan mereka ataupun lewat pemaksaan, maka dialah pemilik kekuasaan yang ditaati jika ia memerintah dengan mentaati Allah (minhaju as-sunnah nabawiyah).

Kemudian kalau kita mau merinci lagi poin ke tujuh dari sepuluh tugas imam, yakni;

وَالسَّابِعُ : جِبَايَةُ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَاتِ عَلَى مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ نَصًّا وَاجْتِهَادًا مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا عَسْفٍ .

Mengambil Fai' ( harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa pertempuran ) dan shodaqoh yang sesuai dengan yang diwajibkan syari'at dan secara ijtihad tanpa adanya rasa takut/intimidasi dan paksaan.

Kalau dikatakan ijtihad "Infaq persenan" sebagai bentuk shodaqoh yang dipungut dengan memberikan kesadaran ( tegasnya " diluar kesadaran" ) tanpa adanya intimidasi dan paksaan, maka kita katakan bahwa ini mengingkari realita yang terjadi di 354 tentang persenan itu sendiri, karena realitanya kapan seseorang mangkir dari membayar persenan maka ia akan segera dihukumi tidak faham, ( doktrinnya " Bahwa persenan yang sampean bawa setiap bulannya kesini ( pusat ) adalah sebagai wujud sambungnya jama'ah kepada Bapak Imam" ), kemudian banyak menggunakan dalil ancaman tentang penolakan terhadap zakat digunakan untuk orang yang tidak bayar persenan dan tamsil-tamsil yang lain yang tidak ada hubungannya sedikitpun dengan hukum persenan- ini adalah bentuk racun intimidasi yang ditanamkan secara i'tiqodyah/keyakinan.

Ini memang saya tekankan,

karena anak-anak muda mulai grusa - grusu .....Jadi perintah bapak imam supaya satu-satunya jama'ah yang bai'at kepada beliau diminta ridhonya untuk menyerahkan sebagian hartanya untuk adalah perintah yang ma'ruf yang tidak maksiat yang wajib ditaati, dan tidak bid'ah. Walaupun ditentukan sekalipun. Berapa..berapa...berapa..

Di dalam salah satu surat diterangkan....

Ada seseorang mengatakan atau ada mendung ngomong " hai...kamu datanglah ke kebunnya si anu, ...hujanilah kebunnya si anu itu ....(maksudnya:padahal musim kemarau)....kemudian di hujanilah kebun itu sehingga subur.. ..sehingga orang yang mendengar itu akhirnya datang " Namamu siapa?". "Nama saya si anu" lho kok sama dengan nama yang disebut oleh suara yang ada di sana itu..." kamu itu bagaimana kok bisa punya kefadholan seperti itu?". Ia mengatakan " karena saya ikrar , bahwa tiap-tiap saya mendapatkan rezeki, terutama dari panen ini 1/3 untuk fii sabilillah, yang 1/3 untuk keluarga, yang 1/3 saya kembalikan untuk pembiayaan kebun".

Jadi orang menentukan dirinya sendiri untuk sekian persen untuk fii sabilillah itu boleh,

Maka kalau imam meminta kesadaran kepada sampean semua dan sampean juga sudah ikrar sanggup , berarti itu sah dan sangat sah dan didukung oleh dalil, bukan bid'ah, paham ya.......

Pembahasan :

بَاب الصَّدَقَةِ فِي الْمَسَاكِينِ

5299 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلَاةٍ مِنْ الْأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ اسْقِ حَدِيقَةَ فُلَانٍ فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدْ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ فَقَالَ لَهُ يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ قَالَ فُلَانٌ لِلِاسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ فَقَالَ لَهُ يَا عَبْدَ اللَّهِ لِمَ تَسْأَلُنِي عَنْ اسْمِي فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ اسْقِ حَدِيقَةَ فُلَانٍ لِاسْمِكَ فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا قَالَ أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ*رواه مسلم- كِتَاب الزُّهْدِ وَالرَّقَائِقِ

Bab sedekah kepada orang miskin

Dari Abi Hurairoh, dari Nabi j, beliau bersabda;" suatu ketika ada seorang Rojul di tanah yang lapang kemudian ia mendengar suara di awan " siramilah kebun fulan" maka awan itu pun pergi lalu menghujani sebuah kebun, maka ketika itu semua kanal-kanal kebun itu penuh dengan air yang melimpah, tatkala itu ada seorang lelaki yang berada di kebunnya sedang memindahkan air menggunakan sekopnya. Kemudian bertanya pada lelaki tersebut, " Wahai hamba Allah siapakah namamu?", ia menyebutkan namanya sama seperti nama yang disebutkan oleh suara di awan, lalu kemudian lelaki itupun balik bertanya " Wahai hamba Allah mengapa engkau menanyakan namaku?", Rojul itupun menjawab; " Aku telah mendengar sebuah suara di balik awan ( yang ini adalah airnya) ia menyebutkan siramilah kebun fulan dengan menyebutkan namamu, apa yang telah engkau lakukan pada kebun ini?", ia pun menjawab " saat engkau mengatakan ini, maka aku sedang menunggu hasil buminya yang akan ku shodaqohkan 1/3nya, 1/3nya aku makan bersama keluargaku, dan 1/3nya aku kembalikan untuk mengolah kebun". HR. Muslim

Di dalam redaksi hadits yang lain disebutkan;

« وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِى الْمَسَاكِينِ وَالسَّائِلِينَ وَابْنِ السَّبِيلِ »

Dan aku berikan 1/3nya kepada orang-orang miskin, kepada para peminta dan pada ibnu sabil.

وَفِي الْحَدِيث فَضْل الصَّدَقَة وَالْإِحْسَان إِلَى الْمَسَاكِين وَأَبْنَاء السَّبِيل ، وَفَضْل أَكْل الْإِنْسَان مِنْ كَسْبه ، وَالْإِنْفَاق عَلَى الْعِيَال . شرح النووي على صحيح مسلم 18/115

Imam An-Nawawi berkata : Hadits ini mengandung keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil, dan bersi keutamaan seseorang makan dari hasil usahanya sendiri, dan memberi nafkah kepada keluarganya.

Oleh karenanya kami tidak mengetahui adanya hubungan, walaupun secuil faedah hadits ini dengan beristinbad / menarik hukum "infaq persenan". Wallahu a'lam



[1] أخرجه ابن شبة في "تاريخ المدينة" "2/ 694-695، 701"، وسعيد بن منصور في "السنن" "4/ 1538/ رقم 788- ط الصميعي"، وابن أبي شيبة في "المصنف" "12/ 324/ رقم 12690"، وابن جرير في "التفسير" "7/ 582/ رقم 8597"، وابن سعد في "الطبقات" "3/ 276"، والنحاس في "الناسخ والمنسوخ" "ص112"، والبيهقي في "شعب الإيمان" "6/ 4، 5، 354"، وابن الجوزي في "مناقب عمر" "ص105" من طرق عن عمر، قال: "إني أنزلت نفسي من مال الله منزلة والي مال اليتيم، إن استغنيت استعففت، وإن افتقرت أكلت بالمعروف، ثم قضيت" وهو صحيح بمجموع طرقه إن شاء الله تعالى. وفي رواية أنه قال ذلك لعمار وابن مسعود رضي الله عنهم حين ولاهما أعمال الكوفة، وفيها: "إني وإياكم في مال الله...." وذكر نحوه، وعبارة المصنف للشافعي في "الأم" "4/ 80"، وعنه السيوطي في "الأشباه" "135"، والبلاطنسي في "تحرير المقال" "144"

[2] طلع-ظهر