URGENSI ISNAD DAN PENJAGAAN UMMAT DENGANNYA

Senin, 11 Januari 2010

-->
أهمية الإسناد وعناية الأمة به

بسم الله الرحمن الرحيم ,الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين
Setelah wafatnya Rosululloh j, maka para sahabat Rodhiallohu 'anhum saling meriwayatkan hadits yang mereka telah dengar dari Rosululloh j di antara mereka, demikian pula orang-orang yang datang setelah mereka, yakni dari Tabi'in, mereka meriwayatkan dari para sahabat dan tiada kebimbangan bagi mereka untuk menerima hadits-hadits yang telah diriwayatkan para sahabat dari Rosululloh j , dan keadaan ini terus berlangsung hingga terjadinya fitnah yang mengerikan yakni terbunuhnya khalifah Rasyid Usman bin 'affan lalu diiringi dengan perpecahan dan perselisihan umat dan bermunculan firqoh-firqoh dan madzhab-madzhab bid'ah, maka dimulailah penyembunyian atas sunnah bertambah sedikit demi sedikit
Dan mulailah setiap firqoh mencari apa-apa yang dapat membenarkan kebid'ahannya dari nash-nash yang disandarkan kepada Nabi j , pada saat itu pula para ulama dari jajaran sahabat dan tabi'in memeriksa manqulan hadits, dan mereka tidak menerima suatu hadits kecuali mereka telah mengetahui jalur sanadnya dan telah mempercayai ketsiqohan dan keadilan para perawinya. Dan demikian itu dapat diketahui lewat jalur isnad. Imam Muslim di dalam muqoddimah Kitab Shohihnya telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
" Mereka tidak pernah bertanya tentang isnad namun ketika terjadinya fitnah (terbunuhnya Khalifah Usman bin 'Affan) , mereka bertanya: " Sebutkan rijal-rijal kalian, maka diteliti bila dari ahlussunnah maka hadits mereka diterima, dan bila datang dari ahli bid'ah maka hadits mereka tidak diterima".
Dan dimulailah Penetapan dan pemeriksaan ini sejak sighor sahabat yakni mereka yang masih hidup setelah zaman fitnah, maka di dalam muqoddimah Imam Muslim
عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ جَاءَ بُشَيْرٌ الْعَدَوِيُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَا يَأْذَنُ لِحَدِيثِهِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَالِي لَا أَرَاكَ تَسْمَعُ لِحَدِيثِي أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَسْمَعُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنْ النَّاسِ إِلَّا مَا نَعْرِفُ [1] " .
Dari Mujahid, ia berkata: Bushair al-'adawy datang kepada Ibnu 'Abbas kemudian ia menceritakan hadits dan ia berkata: "Rosululloh j telah bersabda, Rosululloh j telah bersabda". Maka Ibnu "abbas tidak mendegarkannya dan tidak melihatnya, maka Bushairpun berkata: " Hai Ibnu Abbas! Mengapakah engkau tidak mau mendengar haditsku yang mana aku telah menceritakan padamu dari Rosululloh j". Maka Ibnu Abbas menjawab : " sesungguhnya kami dulu ketika mendengar pada seorang laki-laiki yang berkata : " Rosululloh j telah bersabda", maka kami menfokuskan pandangan dan mencondongkan pendengaran, ketika manusia telah menunggang onta yang sukar dan onta yang mudah ( maksudnya mereka melewati sembarang jalur perawi, baik yang terpuji maupun yang tercela-pent), maka kami tidak mengambil dari manusia kecuali apa-apa yang kami telah ketahui."
Para Tabi'in Kemudian di dalam mencari hadits berpegangan dengan isnad ketika telah tersebarnya kedustaan atas Rosululloh j.
يقول أبو العالية : كنا نسمع الرواية بالبصرة عن أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فلا نرضى حتى نركب إلى المدينة فنسمعها من أفواههم[2]
Abu 'Aliah berkata: " Kami telah mendengar suatu riwayat hadits di kota Bashroh dari sahabat Rosululloh j, maka kami tidak puas sehingga kami berkendaraan menuju kota Madinah kemudian kami mendengarkannya langsung dari mulut mereka".
Ini adalah perhatian yang sungguh-sungguh melalui isnad, dan tampak bagi kita akan kebutuhannya dan dimasukkan di dalam pembahasan ilmu hadits, dikarenakan Isnad adalah merupakan kekhususan dari beberapa kekhususan umat ini yang mana umat ini bersendirian dengannya, tidak ada umat lain di bumi yang membarenginya, tidak diatsarkan dari suatu umat dari beberapa umat tentang penjagaan dengan periwayatan khabar-kabarnya dan hadits-hadits yang menceritakannya sebagaimana yang dikenal dari umat ini. Imam Abu "Ali Al-Jayani berkata:
على الجياني : خص الله تعالى هذه الأمة بثلاثة أشياء لم يُعْطِها مَنْ قَبْلها ، الإسناد ، والأنساب ، والإعراب[3]
Allah ta'ala mengkhususkan pada umat ini dengan tiga perkara yang tidak diberikan pada orang sebelumnya, Isnad, Ilmu Nasab, I'rob".
وقال أبو حاتم الرازي : " لم يكن في أمة من الأمم مِنْ خَلْقِ اللهِ آدم ، أمناء يحفظون آثار الرسل إلا في هذه الأمة[4] "
Abu hatim ar-rozy berkata: " Tidak terdapat di antara umat dari ummat-umat ( dari ciptaan Allah pada Nabi Adam ), suatu keamanan di mana mereka menjaga atsar/hadits para utusan, kecuali terdapat pada umat ini ( Islam )
Fungsi Isnad :
1. Dengan sebab jalur isnad dapat dimungkinkan untuk meneliti hadits-hadits dan kabar-kabar, kemudian Ahli hadits mampu menetapkan derajat hadits, shohih atau dho'if.
2. Dengan isnad dapat terjaga As-sunnah dari penyembunyian, penyimpangan, pemalsuan, penambahan dan pengurangan hadits.
3. Dengan isnad maka ummat ini sampai pada kedudukan dan tempat as-sunnah dan umat ini menjumpai perhatian dan penjagaan atas hadits , sekiranya as-sunnah telah kokoh dengan meneliti jalur-jalur kritik/ulasan dan penelitian hadits yang tidak diketahui adanya bandingan dalam sejarah umat manusia, dan dengannya dapat ditolak tuduhan orang-orang yang bathil dan penyebar keragu-raguan, serta dapat menyangkal subhat-subhat mereka di mana mereka telah meriwayatkan sekitar keshohihan suatu hadits.
Dikarenakan perkara-perkara ini dan selainnya, maka mutawatir dan tersebarnya hadits dari para imam hadits tentang anjuran mereka akan pentingnya isnad, sehingga mereka menjadikan isnad sebagai pendekat kepada Allah dan menjadi agama ;
قال عبد الله بن المبارك : " الإسناد عندي من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء ، فإذا قيل له من حدثك ؟ بقي " أي : بقي متحيراً لا يدري ما يقول ، لأنه لا إسناد معه يعرف به صحة الحديث أو ضعفه
Abdullah bin Mubarok berkata: “ Isnad menurutku merupakan bagian dari agama, seandainya tidak ada isnad niscaya orang berkata sekehendak hatinya, ketika dikatakan padanya “ siapakah yang menceritakan padamu?” ia terdiam, maksudnya ia terdiam dengan kebingungannya, ia tidak mengetahui apa yang ia telah ucapkan, karena ia tidak memiliki isnad yang dengannya dapat diketahui shohih atau dho’ifnya suatu hadits.
وقال أيضاً : " بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمُ يَعْنِي الْإِسْنَادَ
Ia juga berkata: “ diantara kita dan antara beberapa kaum ada dasar pijakan, maksudnya isnad”.
وقال الثوري : الإسناد سلاح المؤمن ، إذا لم يكن معه سلاح فبأي شيء يقاتل
As-tsaury berkata: “ Isnad adalah pedangnya orang iman, bila ia tidak memiliki pedang maka dengan apa ia akan berperang?”.
وقال شعبة : " كل حديث ليس فيه ( حدثنا ، وأخبرنا ) فهو مثل الرجل بالفلاة معه البعير ليس له خطام[5] "
Su’bah berkata: “Setiap hadits yang tidak terdapat (lafadz) “menceritakan kepadaku, menghabarkan kepadaku”, maka seperti seorang laki-laki di dataran luas bersama ontanya yang tidak dipasang tali-kekang”.
وجاء عن ابن سيرين " إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ [6] "
Dan telah datang dari Ibnu Sirin : “ Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”.
وقال الأوزاعي : " ما ذهاب العلم إلا ذهاب الإسناد[7] "
Al-auza’I berkata:” Tidaklah ilmu ini lenyap kecuali bila lenyapnya isnad”.
Dan sebagian mereka menyamakan bahwa sebuah hadits tanpa isnad dengan rumah yang tidak beratap dan berdinding, dan mereka bersyair:
والعلم إن فاته إسناد مسنده كالبيت ليس له سقف لا طنب
“Dan Ilmu ketika kehilangan isnad yang menyandarkannya, bagaikan sebuah rumah tanpa atap dan tali tenda”
Dan kesimpulannya, ini adalah penguat atas tuntutan isnad, dan kedudukannya di dalam menjaga perhatian yang sungguh-sungguh dan penjagaan yang maksimal, kita jumpai kitab-kitab hadits yang dibukukan sejak pertengahan di awal abad ke dua hijriah telah ditetapkan isnad di dalam penulisan hadits, secara umum kitab masanid dengan nama “ jam’u musnad”, ia adalah penamaan yang memiliki pertalian jelas dengan permasalahan isnad, dan diantara kitab musnad yang termasyhur; musnad ma’mar bin rosyid (152H), musnad at-thoyalisy (204H), Musnad humaidy ( 219H ), Musnad Ahmad bin Hanbal (241H), Musnad Syafi’i (204H) dan lain-lain.
Dan kitab-kitab musnad ini menjadi penopang/sandaran bagi para penulis hadits yang datang setelahnya. Mereka minta tolong dan bersandar pada isnad sebagai sumber penulisan hadits, hal ini terus berlangsung menjadi metode para ulama di dalam penulisan kitab-kitab shohih, musnad, sunan, dan lain-lain dengan menetapkan isnad.
Semua ini bagi kami adalah penguat akan pentingnya isnad di dalam ilmu hadits, dan dengan isnad menjadi penjagaan umat ini sepanjang masa. Dan termasuk penjagaan Allah terhadap agama ini dari kehilangan dan penyimpangan hadits, serta sebagai realisasi terhadap janji Allah di dalam menjaga ad-dzikr yang Allah turunkan;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ( الحجر 9)
Akhirnya dari semua pembahasan diatas, kami tidak mengetahui bahwa ada sekelompok kaum muslimin, yakni Jama’ah354 yang bersikap berlebih-lebihan terhadap permasalahan isnad hadits yang mereka miliki sampai pada tahap penvonisan bahwa “orang yang belajar tanpa manqul,musnad, muttasil, maka ilmunya tidak sah, amalannya tidak sah, akhirnya keislamannya juga tiada guna”. Ini tentunya adalah pemahaman yang dipaksakan dengan penuh hawa nafsu dengan tujuan untuk membentengi murid-muridnya agar tidak belajar kepada orang lain dan seakan-akan hanya mereka yang memiliki jalur isnad dan orang lain tidak memilikinya. Padahal sampai saat ini tradisi isnad ini ma’ruf dan bukan suatu ilmu yang tersembunyi dan sulit dcari, masih terus berlangsung dikalangan para ulama-ulama ahli hadits dari masa-kemasa, namun mereka semua tidaklah bersikap ghuluw terhadap isnad yang mereka miliki.
Namun anehnya Jama’ah354 yang telah bersikap ghuluw dalam hal isnad ini tidak pernah menetapkan fungsi-fungsi isnad sebagai landasan untuk penelitian ilmu hadits seperti yang telah dilakukan oleh para ulama, hal ini terbukti bahwa didalam pengajian-pengajian Jama’ah354 tidak pernah kita jumpai sebelumnya pembahsan-pembahsan ilmiah terhadap timbangan suatu periwayatan hadits, akhirnya para murid-muridnya beranggapan bahwa semua hadits yang dimanqulkan adalah shohih dan diamalkan tanpa mengetahui kalau hadits tersebut terkadang dho’if bahkan maudhu’. Baru pada tahun-tahun belakangan ini ada pembahasan shohih dan dho’if sebuah hadits, namun sayang hal itu lagi-lagi dengan mengikuti hawa nafsu tanpa ada pembahasan Ilmiah yang memadai.


[1] اختصارُ علوم الحديث ، لابن كثير ( ص : 54 ) مع " الباعث الحثيث "
[2] الكفاية في علم الرواية - الخطيب البغدادي 403
[3] تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي 2/160/ قواعد التحديث من فنون مصطلح الحديث
[4] فتح المغيث شرح ألفية الحديث 3/3
[5] كتاب المجروحين: 1/19
[6] أخرجه الدارمي ( رقم : 425 ) وابنُ سعد ( 7 / 194 ) ومسلم في " مقدمة صحيحه " ( 1 / 14 ) وابن أبي حاتم في " الجرح والتعديل " ( 1 / 1 / 15 ) والرامهرمزي في " المحدث الفاصل " ( ص : 414 ) وابن عدي ( 1 / 253 ، 254 ) والخطيب في " الكفاية " ( ص : 196 ، 197 ) و " الجامع لأخلاق الراوي " ( رقم 138 ) من طريق ابنِ عونٍ عن ابن سيرين ، به .وروى معناه غير واحد عن ابن سيرين .
[7] التهميد: 1/ 314 ، أبو عمر يوسف بن عبد الله بن عبد البر النمري ،وزارة عموم الأوقاف والشؤون الإسلامية ـ المغرب